Di Antara Celah-Celah Kosong

            Ia berlari menembus ilalang. Rambutnya dibiarkan terurai begitu saja. Matahari semakin tumbang ke arah barat. Tapi langkah kakinya masih belum melambat. Peluh turun dari dahinya. Napasnya memburu, detak jantungnya bergemeretak.
            Tinggal sebentar lagi. Tinggal sedikit lagi.
            Jam tangan melingkari tangannya. Jarumnya sudah berhenti bergerak sejak 2 tahun lalu. Tapi saat ia pergi, jam itu masih ia lingkarkan di pergelangan tangannya. Semacam sebuah bukti. Entah apa yang ingin ia buktikan.
            Rumah di ujung jalan itu masih sama. Reyot. Ia memperlambat langkahnya, lalu mengatur napas. Rumah yang ia tinggalkan 2 tahun lalu. Tiap sudut rumah itu tetap mengingatkannya pada orang itu.
            Orang yang mengirim warna hitam pada hatinya. Sekaligus warna-warni pada dunianya. Kombinasi yang ironi.
            “Koji, kau ada?”
            Suaranya parau tertahan pada rindunya. Sunyi. Yang terdengar hanya suara angin yang menelisik ilalang, burung yang ribut hendak kembali ke sarang, dan suara degup jantungnya sendiri.
            “Koji! Jawab  aku! Aku tidak datang untuk mendapat sunyi”
            Yang menjawab masih sama. Angin. Pintu bercat cokelat tua itu tetap bergeming. Walaupun sudut-sudut pintu sudah keropos karena rayap. Andai pintu ini dapat berbicara dan mendengar, akan ia katakan semua kebenaran untuk gadis ini.
            Suara langkah kaki terdengar dari dalam. Ia tahu siapa pemilik langkah kaki sayu itu. Ia berdiri dengan letupan rasa bahagia yang menyaruk-nyaruk hatinya, dan sebuah rindu sebesar kepalan tangan yang ikut menggedor-gedor pintu.
            Aku pulang, Koji. Aku pulang. Pada akhirnya kita akan tetap bersama. Aku, kau, dan haru perjuangan kita.
            Gagang pintu terbuka dengan susah payah. Engsel-engsel pintunya berderit berteriak berkomplot ingin segera pensiun dari tugasnya menopang pintu.
            Yang keluar bukan lelaki dengan rambut berantakan, baju lusuh, dan sebuah mata teduh untuk tempat pulang. Kebahagiaan dan rindu mulai menghantam dirinya. Keras sekali. Seperti bentuk protes kenapa tak segera bertemu dengan Koji.
            Koji. Koji. Koji. Apa ada nama lain selain nama itu yang mengudara dalam benaknya?
            Perempuan baruh baya itu menatap sebentar di balik pintu yang terbuka sedikit, “Siapa?”
`           “Ini aku”
            Perempuan baruh baya itu mengernyitkan alis. Mengingat-ingat lagi siapa gadis ini. Memorinya tidak bekerja, walaupun ia sudah menggaruk-garuknya sampai titik terbawah. Ia tidak mengenal gadis ini.
            “Aku pulang, Koji. Sudah kau siapkan 2 cangkir teh untuk menikmati senja?”
            Gadis itu mendorong pintu, memaksa masuk. Senyumnya terpatri sempurna pada wajahnya. Rindunya sudah melayang menelusup ke dalam rumah. Mencari jejak-jejak Koji di ujung kursi, di balik rak-rak buku, atau di langit-langit.
            “Ini aku, Koji. Mei. Kau tidak lupa padaku, kan? Aku punya kabar baik untukmu, Koji. Jadi, mari mendekat”
            Suara gadis itu memenuhi langit-langit rumah. Ruang tamu yang masih sama seperti 2 tahun lalu, mendadak menjadi bisu. Enggan berucap kemana sang lelaki itu pergi. Bahkan debu-debu dan sarang labah-labah memilih mengurus dunianya sendiri.
            Perempuan baruh baya itu tetap membiarkan pintu terbuka. Membiarkan angin ikut masuk dan mencari Koji bersama dengan sebuah rindu. Perempuan itu berjalan hati-hati, takut dengan apa yang akan terjadi.
            Tapi tiba-tiba, ingatannya tentang masa lampau, mulai menyembul ke permukaan. Walaupun pikun sudah menjadi bagian dari dirinya, ia masih ingat betul tentang hal itu.
            “Namamu Mei? Kau sudah pulang dari tempat itu?”
            Mei menoleh ke arah belakang, lalu menimpali dengan asal, “Ku sebut itu neraka”
            Setitik air sebening embun terjun dari pipi perempuan itu. Sudah sekian lama. Lama sekali. 2 tahun ia menunggu gadis ini kembali kemari.
            “Tidak ada yang bilang padamu lagi? Tentang Koji”
            Mei menggeleng. Tapi ia bahagia perempuan tua di depannya tahu tentang Koji. Senyumnya kembali merekah, matanya berbinar, tak sabar kembali memeluk Koji, “Kau tau dimana Koji? Kenapa tidak bilang! Cepat katakan, aku sudah rindu ingin bertemu”
            Perempuan itu mengusap air mata pada sudut matanya, lalu duduk di kursi rotan yang ada di ruang tamu, “Kau bahkan tidak mengingatku, Mei. Aku yang mengurus rumah penampungan anak jalanan ini”
            Mei mengangguk-angguk cepat. Tidak sabar akan mendengar kabar tentang Koji dan dimana ia sekarang. Sebentar lagi aku akan berjumpa lagi denganmu, Koji. Aku punya kabar menarik untuk kita berdua.
            “Tapi syukurlah kau sudah bisa pulang. Kau semakin cantik. Koji akan terkesima jika ia melihat kau, Mei. Kau benar-benar kehilangan memori 2 tahun lalu karena trauma?”
            Mei mengerutkan alis. Yang ia ingat hanya sebuah keinginan untuk bersekolah dengan Koji. Ya, dengan Koji. Bahkan ia mengantongi lipatan selebaran bertulis ‘sekolah gratis untuk anak jalanan’
            “Koji sudah meninggal. 2 tahun lalu”
            Langit-langit seperti runtuh menimpa rumah reyot itu. Mengahancurkannya bersamaan dengan kenangan miliknya dengan Koji. Serpihannya berubah menjadi setajam ujung kaca, lalu menusuk-nusuk hatinya Tidak. Tidak mungkin. Koji tidak mungkin meninggal.
            Tanpa ia sadari, bulir-bulir sebening embun mulai jatuh. Meluncur menuruni pipinya, lalu berakhir pada ubin dingin. Kaki-kakinya lemas, napasnya memburu.
            “Tidak! Tidak! Kau pembohong! Koji tidak mungkin membiarkan keinginannya remuk berserakan lalu di hembus angin. Lihat selebaran ini? Ini pintu untuk membebaskan mimpi-mimpi kami yang terpenjara dalam benak”
            Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. Perempuan itu menangis melihatnya. Tidak ada apa-apa di dalam tangannya. Tidak ada apa-apa saat Mei membentangkan tangannya seolah-oleh sedang memegang kertas selebaran.
            “Lihat! Ini kertas selebaran untuk anak-anak jalanan. Mulia benar orang yang membuat keputusan ini. Aku dan Koji, juga anak-anak lainnya bisa belajar”
            Mei tertawa, lalu disusul dengan tangisnya. Ada perasaan sedih yang memenuhi hatinya, senang yang meletup-letup karena mimpinya dengan Koji akan terwujud, dan rindunya yang berubah menjadi palu menghantam hatinya.
            Perempuan itu menarik napas dalam-dalam. Membiarkan oksigen mengisi relung hatinya lalu membesarkan hatinya, "Koji meninggal dalam kecelakaan itu. Peristiwa 2 tahun lalu. Tertabrak bus saat menyebrang jalan. Tubuhnya terpelanting jauh. Pendarahan otak. Tidak ada yang bisa dilakukan. Ia mati saat itu juga”
            Koji.. meninggal.. darah.. bus... jam hadiah ulang tahun.. mati.. impian.. sekolah..
            Tiba-tiba Mei berteriak. Ia terduduk lemas dengan tangan yang menutup rapat telinganya. Sekelebat bayangan tentang Koji melintas. Jam yang jarumnya sudah berhenti berotasi itu pemberian dari Koji. Hadiah ulang tahunnya. Walaupun hanya jam bekas. Koji meninggal saat pulang membeli jam itu. Ajaibnya, jam itu tetap utuh.
            “Tidak! Kau perempuan tua pembohong! Koji akan kembali dan bersama denganku! Aku dan Koji akhirnya akan bisa bersekolah! Koji! Koji! Kau dimana? Aku rindu”
            Mei masih terisak. Ia bahkan menarik-narik rambutnya, menampar pipinya, mencubit kulitnya. Berharap ini hanya mimpi di siang bolong yang akan berakir jika ia membuka matanya.
            “Katakan ini semua mimpi! Koji tidak akan pergi. Dia sudah berjanji. Koji bilang, kau bisa menjadi apa saja jika bersekolah. Aku percaya padamu, Koji. Aku percaya pada mimpimu untuk membangun negeri impian dimana semua orang bahagia
            “Koji..
            “Negeri dimana semua orang dapat bersekolah…
            “Ko.. ji”
            Setelah itu gelap. Mei pingsan. Jam di tangannya masih diam. Sebuah bukti kalau Koji masih hidup dalam ingatannya, dalam rindunya, dan dalam mimpinya. Ia masih rindu.
            Sebuah mobil hitam meluncur ke arah halaman. 2 orang laki-laki paruh baya dengan jas putih keluar. Mereka petugas rehabilitasi yang khusus menangani Mei. Dengan susah payah, mereka membopong tubuh ringkih gadis itu masuk ke dalam mobil.
            Senja membungkus langit. Meningalkan sapuan lembut oranye. Perempuan tua itu menutup pintu. Sekaligus menutup kenangan dan mimpi-mimpi 2 tahun lalu.
            Di dalam rumah yang sama, 2 tahun lalu, selalu penuh luapan mimpi dan gelak tawa pada celah-celah kosong sekalipun. Sekarang, celah itu hanya berisi lara dengan untaian memori pekat.

            Koji.. Koji.. Kau dimana?

0 komentar:

Posting Komentar