Zaq
memang tau persis apa yang bisa membuat gadis itu merasa baikan.
Jingga
masih menggenggam erat pundak Zaq, sambil menyenandungkan lagu kebangsaan
mereka. Hanya mereka berdua yang tetap bersorak walau lagu itu sudah tidak
berada pada jamannya lagi.
“Heh,
udah sampe. Mau sampe kapan kamu megang-megang pundakku sambil nyanyi?”
Zaq
menepuk-nepuk tangan kurus Jingga yang masih erat menempel pada pundak
laki-laki jangkung itu. Jingga hanya melempar senyuman jenaka, mengacak-acak
rambut Zaq yang berantakan karena angin, lalu melompat turun.
Sepeda Zaq
tersandar sempurna pada pohon mangga di depan toko. Ini toko kue. Usaha
kecil-kecilan milik Nenek Zaq. Sejam yang lalu, Jingga menarik lengannya.
Mengajaknya untuk bersepeda keliling kota. Wajahnya kusut lengkap dengan bibir
yang mengerucut. Marah ala Jingga memang selalu khas.
Lalu Zaq
berkata dengan suara rendah, bahwa ia akan mengajaknya pergi ke toko kue Grand.
Jingga tak pernah merasa bosan disini. Siapa sih yang akan bosan jika memakan
kue-kue itu lengkap dengan cerita-cerita Grand tentang masa lalunya?
“Grand!”
Suara
Jingga menggema memenuhi langit-langit toko. Grand muncul dari balik kasir
dengan celemek warna pastel—hadiah ulang tahunnya dari Jingga—dan seulas senyum
yang mengatakan ‘selamat datang’
Toko
kecil ini memang terlihat sepi, tapi, saat hari-hari tertentu seperti natal,
tahun baru, perayaan ulangtahun, atau hari-hari yang biasanya di kalender berwarna merah, toko ini mendadak ramai. Bagian dalam toko dibuat minimalis
dengan rak-rak berisi kue yang berjajar apik di dekat kasir. Zaq yang mendesain
ini.
“Jingga,
anak cewek nggak boleh teriak-teriak kayak tarzan” Sebuah tangan membekap mulut
Jingga dari belakang. Zaq tertawa renyah menertawakan usaha gadis itu untuk
melepaskan tangannya.
Grand
ikut terkekeh melihat polah mereka. Dua remaja berusia 16 tahun. Dulu mereka
berdua hanya bocah yang tau bahwa dunia adalah taman bermain yang luas. Grand
menggeleng-gelengkan kepala. Mereka sudah tumbuh sekarang.
Zaq
mengelap telapak tangannya pada serbet yang tergeletak di atas meja, “Jangan
digigit juga dong tanganku. Kalo laper jangan makan tangan orang. Ekstrem amat”
Jingga
memeletkan lidahnya, “Peduli amat. Salah siapa tangan Zaq tiba-tiba ada di
depan mulutku” Tawa Jingga pecah, “Makannya, jangan berani-berani sama Jingga.
Jingga dilawan”
“Dasar
cewek tarzan” Zaq melempar serbet ke arah Jingga dengan geram. Terlambat.
Jingga sudah bersembunyi di balik punggung Grand sambil memasang wajah
pura-pura takutnya.
Grand
tersenyum. Toko kecil ini mulai diisi dengan keisengan Jingga dan
gerutuan-gerutuan Zaq yang khas. Daripada duduk sendirian sambil menunggu kue
mengembang di balik oven, lebih baik jika ramai seperti ini, kan.
“Hari
ini kenapa?”
Grand
bertanya saat mereka sudah duduk mengelilingi meja dengan kue dan secangkir
teh. Sesuatu yang sayang sekali jika dilewatkan. Dan Grand selalu tau, jika
Jingga dan Zaq datang, pasti membawa cerita.
Zaq
menunjuk ke arah Jingga dengan matanya.
Tanya aja sama Jingga. Cewek itu kan emang dikit-dikit punya masalah. Sedangkan
Jingga, sudah sibuk mengunyah kue sambil menatap jalanan sepi dari balik pintu
toko.
Jingga
menoleh, sadar jika dilihat, “Apa kamu liat-liat? Mau ngajak berantem?”
Cowok
itu melongo. Hei, sejak kapan melihat orang malah di ajak berantem? Alis Zaq
terangkat sebelah, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Malas. Dasar cewek tarzan.Giliran ada masalah dikit
baru keliatan kalemnya.
Jingga meletakkan cangkir,
lalu memulai ceritanya dengan sebuah tarikan napas yang panjang, berujung ‘fuuh’
pelan. Cerita yang menyenangkan akan berawalan dengan sorot matanya yang
menyala, dan nada suara yang menggebu-gebu. Cerita yang menurutnya tidak
menyenangkan hanya diawali dengan helaan napas panjang.
“Grand,
Zaq, kalian berdua harus tau ini”
Zaq
memutar bola matanya. Setengah tidak peduli. Setengahnya lagi malas. Palingan
hanya masalah sepele seperti berangkat kesiangan karena mengurus rambut yang
mengembang sempurna saat bangun tidur, terkunci di gerbang, dan disemprot
habis-habisan dengan guru, atau yang paling parah, PR nya malah ketinggalan.
Sebaliknya,
Grand tampak antusias seperti biasa. Grand pendengar yang baik. Tidak terkesan
menggurui atau terlalu banyak memberi komentar. Grand sesekali terkekeh di
sela-sela cerita, mengangguk-angguk, atau sekedar tersenyum. Baru setelah
cerita selesai, Grand akan berkata hal yang sanggup menenangkan.
“Grand,
Zaq, pernah nggak kalian ngerasain pengen deket terus sama orang lain? Perasaan
seneng hanya karena liat senyumnya pas pagi, atau nggak sengaja memikirkan
orang itu di sela-sela menghapal pelajaran?”
Zaq
hampir menyemburkan teh yang baru saja ia sesap. Tunggu dulu, apa Jingga
berkata tentang cinta? Cewek tarzan itu? Yang tiap hari bertingkah konyol dan
suka sekali menepuk pundaknya dengan keras?
Grand
sempat tertegun. Lalu tersenyum. Merasa itu hal yang wajar.
“Kesel
juga kenapa bisa tiba-tiba kepikiran. Aneh, kan. Padahal aku nggak punya
rencana bakal mikiran dia. Tapi, Grand, saat aku panik, kelimpungan gara-gara
harus banyak belajar untuk olimpiade, tidur sehari hanya 3 jam, dan aku kadang
frustasi kenapa hasilnya selalu begitu-begitu saja padahal aku sudah berusaha
sekeras itu,
Kadang,
pas liat senyumnya, aku mikir, ‘ternyata ada juga ya senyum kayak gini’ rasanya
damai banget. Itu bahagiaku nomor 2. Bahagiaku nomor 1 adalah kalian berdua.
Grand dan Zaq”
Grand
terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepala. Bahagia bisa sesederhana itu. Arti
bahagia ala Jingga sederhana sekali, kan. Grand mengurungkan niatnya untuk
bertanya. Paling nanti Jingga akan mengatakannya sendiri.
“Aku?
Bahagiamu? Kamu bahagia ya kalo tiap turun dari sepeda langsung mukul pundakku?
Atau kamu bahagia gara-gara kalo ada pelajaran yang nggak kamu ngerti, kamu
buru-buru berguru ke aku?”
Zaq
mendengus sebal. Jingga menatapnya sebentar, lalu melanjutkan ceritanya lagi.
Nanti, akan ia jelaskan.
“Aku
suka nikmati waktu kayak gini. Bareng kalian. Ketawa bareng, kalo aku sedih
juga selalu ada kalian yang jadi tempat cerita. Rasanya aku sudah nggak ngerasa
frustasi lagi. Bebanku ilang entah kemana. Woosshhh. Aku pengen terus bareng
sama Grand dan Zaq”
Zaq
membuang muka saat Jingga menatapnya sekilas. Bisa juga ya, kata-kata seperti
itu keluar dari mulut Jingga. Alasan kenapa Zaq bisa sedekat ini dengan Jingga
adalah, karena sejak awal, cewek itu yang menarik-nariknya. Lalu, tiba-tiba
saja mereka bisa berteman.
“Kita
memang selalu bersama, kan? Seperti saat ini. Seperti yang Jingga bilang.
Grand, kamu, dan Zaq. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kalau kamu frustasi, itu
artinya kamu masih merasa belum cukup dan selalu berusaha lebih keras lagi.
Lalu tentang manusia-dengan-senyum-damai-mu itu, Grand tak ingin berkata
apa-apa. Biar kamu yang cari jawabannya sendiri”
*****
19 September 2016
17:13. Ditemani lagu Sleeping With Sirens-Iris. Niatnya mau mandi, tapi
tiba-tiba kepikiran bikin ini, akhirnya balik lagi ke kamar sambil mengalungkan
handuk. Keinget tadi pas pulang sekolah, aku makan di kantin bareng Rosa, Beno,
Mentari, Rina, Vian. Bercerita banyak entah sampai mana. Lalu mikir kayaknya
keren kalo Zaqi juga ada disini. Haha. Bercanda, Zaq.
0 komentar:
Posting Komentar