Aku
pernah bermimpi tentang dunia batas. Itu adalah batas dari dunia—alam semesta.
Ada sebuah gerbang raksasa yang tepi-tepinya dihias apik dengan bunga-bunga.
Bunga dari seluruh dunia. Gerbang itu dijaga oleh laki-laki tambun dengan kumis
seperti Hercule Poirot—tokoh dalam novel detektif Agatha Christie.
Kacamata
bacanya kadang merosot saat ia menunduk. Seperti saat ia bertanya padaku. Ia
bertanya kemana aku akan pergi?
“Pulang”
Kataku.
Aku
mengepalkan tanganku pada sisi-sisi badan. Berdiriku tegap seperti pasukan
pengibar bendera. Wajar aku takut. Tinggiku hanya seperutnya.
“Kau
sudah pulang”
Laki-laki
tambun itu mempelintir kumisnya, lalu tertawa terbahak-bahak. Meja dan kursi
yang di dudukinya sampai bergetar hebat. Aku menelan ludah.
“Aku
tidak kenal tempat ini”
Aku
sudah mencoba berbicara selantang mungkin. Tapi suaraku tetap saja bergetar.
Aku seakan menciut, memadat menjadi sebesar remah-remah roti yang tertinggal di
sudut bibir. Laki-laki tambun itu mendelik, lalu membenarkan kacamatanya. Lagi.
“Karena
kau baru pertama kali kesini. Masuk. Dunia di dalam gerbang akan menyesuaikan
dengan duniamu, kehidupanmu, dan semua hal yang ada dalam memorimu”
Semua? Apa aku akan menemukan sesuatu yang
pernah hilang?
Pertanyaanku
berhenti pada ujung mulut. Belum sempat aku pertanya, ia sudah bergerak cepat
meneliti tumpukan-tumpukan ketas yang tersusun berantakan pada tepi mejanya. Ia
membaca entah apa, lalu menarik sebuah kertas.
‘Octo’
Itu
namaku. Namaku tercetak besar pada tepi kanan atas kertas. Sepertinya dicetak
timbul. Aku mengucek mataku sekali sekedar memastikan aku tidak salah membaca.
O-C-T-O
Aku
mengejanya lamat-lamat. Memastikan untuk yang kedua kalinya. Kenapa ada namaku
disana? Ia bilang aku baru pertama kali kesini. Tapi kenapa ia tau namaku?
“Ini
dokumenmu. Kau sudah terdaftar sejak dulu. Tidak ada yang bisa membuka gerbang
tanpa dokumen ini”
Ia
mengipas-ipas kertas itu. Angin kecil keluar dan menerobos sela-sela rambutnya.
Membuat rambutnya yang putih sempurna bergerak mengikuti arah angin. Lalu ia
menyodorkannya padaku. Aku menerimanya, tapi masih ragu untuk membalik dan
membaca deretan tulisan yang ada disana.
“Baca!”
Suaranya
keras menggema memenuhi langit-langit. Bahkan, jika langit dapat roboh, pasti
langit sudah runtuh. Suaranya seperti golem yang menghantam keberanianku.
Cepat-cepat, aku membalik kertas itu dan membaca paragraf pertama.
‘Selamat datang di dunia batas. Disini adalah
dunia tanpa batas. Tidak, jangan bingung. Gerbang ini adalah batasnya. Masuk,
maka, hukum batas pada dirimu akan ditiadakan. Dunia di dalam gerbang akan
menyesuaikan dengan duniamu (dunia manusia) tapi bedanya, disini tidak ada yang
namanya batas’
Tidak
ada yang namanya batas.
Tidak
ada. Batas. Tanpa batas.
Kalimat
itu berlarian dalam benakku. Apa yang kupercayai dari dulu seperti runtuh
seketika di depan gerbang ini. Batas itu ada. Semua punya batas. Bahkan manusia
punya batasan umur, kan? Seperti karet yang ditarik pada kedua sisinya. Karet
itu akan memanjang sampai akhirnya putus.
Laki-laki
tambun itu kembali duduk. Kursinya mengeluarkan bunyi krek krek krek seperti mengeluh kapan bisa beristirahat tanpa
menopang orang di atasnya.
Paragraf selanjutnya hanya
berisi 3 peraturan. Aku mengernyitkan alis. Kata ‘normal’ sudah pergi
peninggalkan peraturan ini. Benar-benar jauh berbeda dengan peraturan yang ada
dalam dunia manusia.
1. Kau bisa kembali kesini kapanpun sampai
urusanmu disini selesai.
2. Gerbang timur dan barat
adalah batas yang tak boleh dilewati saat tengah malam.
3. Dunia batas hanya mereka yang
tau dan akan tetap seperti itu sampai alam semesta berhenti mengembang.
Di
pojok bawah kertas, ada sebuah tanda tangan. Ini tanda tanganku. Kapan aku
menandatangani ini?
“Batasanmu
sudah dihilangkan”
Laki-laki
tambun itu mengambil kertas tadi, lalu meniupnya. Kata-kata yang tercetak pada
kertas seperti berhamburan keluar. Huruf-huruf itu berlarian, lalu masuk ke
dalam laci meja. Apa yang sebenarnya terjadi?
Ia
kembali menyodorkan kertas itu. Kali ini hanya ada namaku, dan tandatanganku.
“Masuk!”
Seketika
itu juga, gerbang raksasa itu berderit seakan engsel-engselnya berkomplot minta
diganti. Aku menelan ludah. Gerbang itu sudah terbuka sempurna. Aku menengok ke
dalam gerbang. Kenapa di dalam sana mirip dengan keadaan kamarku?
Kakiku
yang tanpa alas melangkah hati-hati. Kurang satu langkah lagi, maka aku akan
benar-benar masuk. Tapi, aku mendengar suara yang sangat keras. Suara itu
menyebut namaku berkali-kali. Aku menutup telinga, berharap suara yang lebih
keras dari laki-laki tambun itu berhenti. Tapi, suara itu semakin keras, sampai
menggetarkan meja, kursi, dan gerbang. Kertas-kertas berhamburan memenuhi
langit. Aku memejamkan mata. Takut dengan hal yang akan terjadi selanjutnya.
Aku
membuka mataku tiba-tiba dan hal pertama yang kulihat adalah wajah adikku. Aku
hampir terjungkal karena wajahnya hanya berjarak satu jengkal.
“Kak
Octo banguunn” Ia berteriak, lalu setelah itu pergi. Mungkin ia takut aku akan
memarahinya.
Aku
duduk di tepi tempat tidur. Semua masih sama. Adikku yang selalu berisik saat
pagi, suara bising mesin cuci, dan keadaan kamarku yang berantakan dengan
buku-buku yang tersebar. Ini benar kamarku. Bukan kamar dalam dunia batas.
Ternyata
hanya mimpi. Mungkin pertanyaan temanku semalam yang membuatku bermimpi tentang
‘batas’ Ia bertanya, ‘Menurutmu, apa batas itu ada?’
Aku
menghela napas, lalu mengedarkan pandangan. Di atas meja belajar, aku melihat
selembar kertas dengan namaku pada tepi atas. Aku beranjak dari tempat tidur.
Mungkin aku hanya salah melihat.
*****
1 September 2016
0 komentar:
Posting Komentar