Aku mulai menyentuh bidak-bidak catur saat kelas 3 SD. Saat itu pengetahuanku tentang catur masih nol besar. Aku tidak mengerti bagaimana sang raja melangkah, menteri menghunus pedang, atau benteng yang mati-matian mempertahankan sayap kanan-kiri. Aku cukup senang dengan bentuk-bentuk mereka yang aneh.
Saat pertama kali memainkannya, aku langsung memilih sebagai penguasa kerajaan putih. Itu artinya, aku berhak mengambil 2 langkah pertama. Prajuritku gagah berani berdiri 2 petak di depan kawan-kawannya. Eyang mengajariku bagaimana mereka melangkah. Ini menyenangkan.
Aku bersungut-sungut saat Eyang mengalahkanku. Kenapa Eyang tak mengalah saja pada pemula ini? Eyang juara kampung. Aku hanya perempuan kecil yang baru pagi tadi mengetahui cara bermainnya. Aku mengamati menteri kerajaan hitam milik Eyang yang menghunuskan pedang ke dada rajaku. Lihat, raja putihku berdarah-darah sampai tak mampu lagi mengeluarkan perintah untuk balas dendam. Aku kalah telak.
Kelas 5 SD. Aku belum mampu mengalahkan Eyang. Walaupun saat itu aku pernah sekali mengalahkan Bapak. Bisa jadi Bapak hanya mengalah karena tak ingin melihat wajah putrinya yang kecewa. Tapi, kekalahan palsu ini tak bisa kubiarkan lama-lama. Aku mengalahkan Bapak lagi saat pertarungan kami yang ke 5. Ini kemenangan mutlak.
Suatu pagi di teras rumah Eyang, aku bertanya, "Kenapa prajuritnya rela mati?"
Eyang tak langsung menjawab, malah sibuk memindahkan benteng 3 petak ke depan, "Hmmm"
"Kenapa, Yang?"
"Bukan karena mereka rela mati begitu saja. Eyang mau tanya dulu. Kenapa mereka berada didepan?"
Giliranku menggerakkan bidak. Aku meraih kuda yang jalannya membentuk huruf 'L', "Mereka rela mati?"
Eyang terkekeh, membuat kerut-kerut pada ujung matanya makin jelas terlihat, "Mereka pemberani. Mereka tau mereka tak sekuat menteri, jadi mereka memilih berdiri gagah di depan untuk berkorban melindungi yang penting. Mereka lemah, jadi mereka memilih bergandengan tangan bersama-sama"
Aku mangut-mangut sambil melihat benteng milik kerajaan hitam membabat habis kuda milikku, "Lalu?"
"Prajurit punya 1 keistimewaan. Kalau ia sampai di ujung papan, prajurit itu mendapat hak untuk mengganti gelarnya. Ia bisa saja berubah menjadi kuda, benteng, menteri, atau ratu"
"Lalu?" Aku penasaran menanggapi ucapan Eyang. Sampai-sampai aku sudah tak lagi memikirkan bagaimana para bawahanku melangkah. Penguasa kerajaan putih sedang sibuk bercengkrama dengan penguasa kerajaan hitam.
"Skak"
Aku mengamati posisi bidak-bidak catur. Rajaku sudah kejang-kejang di serang oleh menteri hitam. Lagi-lagi aku kalah. Sampai sekarang aku belum bisa mengalahkan Eyang.
0 komentar:
Posting Komentar