Lagi-lagi
begini.
Aku
meraba saku tasku yang sudah berisi botol aqua. Botol minum warna biru milikku
berubah menjadi botol aqua yang isinya tinggal setengah. Aku tau siapa yang
melakukan hal ini tanpa harus bertanya pada teman-temanku yang sedang sibuk
menyapu—piket.
“Viaaaan”
Aku
setengah berteriak sambil melengang keluar kelas. Aku menoleh ke arah kanan.
Tidak ada. Kiri. Tidak ada. Padahal sepertinya tadi Vian baru saja keluar, tapi
kenapa menghilangnya cepat sekali?
Aku
menghampiri segerombolan cewek yang berdiri di depan pintu kelas lalu bertanya
pada Rinda—teman sekelasku, “Rin, kamu tau Vian dimana?”
“Vian? Kan
tadi di kelas sama kamu. Oh iya, barusan keluar. Tuh” Aku mengikuti arah
telunjuknya. Aku bisa melihat jaketnya. Ia ada disana. Aku melempar kata ‘makasih’,
lalu berjalan cepat ke arah cowok kurus itu.
“Yan!”
Yang
kupanggil, hanya nyengir sambil berjalan mendekat. Ia berdiri di sebelahku,
tanpa berkata apa-apa, hanya tersenyum seakan ini semua bukan ulahnya. Alisku
terpaut, mataku tajam menatapnya. Aku sedikit mendongak melihatnya karena Vian jauh lebih
tinggi. Sialnya lagi, ia menunduk untuk melihatku.
“Apa,
Maj?” Akhirnya ia bicara.
Aku
menjulurkan tanganku dengan gaya meminta. Tanpa berkata pun, itu sudah jelas
apa maksudnya. Tapi cowok kurus di sebelahku ini malah mengerutkan alisnya
seperti tidak tau apa-apa.
Aku
menghela napas, “Botol minumku, Yan. Mana?”
“Hah?
Mana aku tau” Ia mengangkat bahu, lalu berjalan masuk ke kelas. Aku berdecak,
lalu mengikutinya. Aku harus cepat mengambilnya atau aku akan ditinggal Rosa pulang.
Kelas
masih ramai dengan suara sapu membentur lantai kelas dan penghapus papan tulis
yang bergerak. Aku mengedarkan pandang berharap Vian menyembunyikannya di kelas
seperti dulu. Saat kelas 10, ia pernah menaruh botol minumku diatas pintu. Aku melompat,
tapi tanganku tetap tak sampai. Lalu akhirnya, Vian terkekeh sambil
mengambilnya.
“Loh,
ngga jadi pulang, Maj?” ia duduk di bangku nomor 2 dari depan
“Botolku,
Yan”
“Apaan?
Mana aku tau. Coba kamu tanya ke Rosa, Didit, ato siapa”
Aku
menjulurkan tanganku lagi tepat di depan wajahnya, “Nggak. Mana, Yan?”
Ia
tersenyum sambil meletakkan tangannya di atas tanganku. Entah apa maksudnya, ia
malah menarik tanganku. Vian menjabat tanganku. Genggamannya tak terlalu kuat untuk ukuran cowok. Ia menariknya lagi, sambil menundukkan kepala dan
menempelkan punggung tanganku pada dahinya. Seperti anak SD yang pamitan sama
ibunya sebelum berangkat sekolah.
Aku
bukan ibu mu, Yan.
Aku
ingat. Kemarin, aku chatingan dengan manusia ini. Kami membahas tentang pergi
sekolah naik naga. Akhir dari percakapan, aku mengetik, ‘Disekolah ngga ada
parkiran naga, Yan. Kalo berangkat, pamitan dulu sambil cium tangan’
“Vian! Botolku
mana?”
“Hmm?
Kenapa mbak?” Vian pura-pura lagi. Ia merendahkan suaranya sambil tersenyum.
Sial. Senyumnya. Sebelum aku bicara lagi, telunjuknya menunjuk ke arah bangku di
belakangku. Botol minumku ada disana. Padahal sebelumnya, disana tidak ada
apa-apa.
Aku mengambilnya,
lalu memasukkannya lagi ke dalam saku tas. Aku takut kalau kumasukkan ke dalam
tas, tiba-tiba airnya tumpah dan mengenai buku.
“Sana
pulang” kataku. Ia masih berada pada posisi yang sama, “Cepetan pulang, makan,
minum obat, tidur” Tadi dia bilang, kepalanya pusing.
“Pusing
mbak. Ntar kalo kenapa-kenapa pas naik motor gimana?”
“Ngga peduli. Sana
pulang”
Ia lalu
pergi setelah tertawa pelan, lalu tersenyum sambil mengangguk. Seperti biasa.
Aku
mengehela napas. Kenapa 2 orang itu—Vian, Beno—suka sekali mengambil botol
minumku disaat aku tergesa-gesa ingin cepat pulang dan merebahkan badan di atas
kasur? Kemarin, aku harus berjalan mengelilingi sekolah hanya untuk merebut
botolku dari Beno. Ia berjalan disebelahku, berkata tentang rapat OSEAN (ekskul
olimpiade), dan hal lainnya. Ngobrol sambil jalan.
Ralat. Liana juga suka melakukan hal itu.
Ralat. Liana juga suka melakukan hal itu.
Botol Tercinta
0 komentar:
Posting Komentar