Sebenarnya
lebih menyenangkan menonton di kuil. Dengan stand-stand makanan yang berjajar
disepanjang jalan, permainan tangkap ikan mas, lampion-lampion yang disusun
apik, dan hiruk pikuk keramaian khas festival kembang api.
Tapi
kami selalu menonton dari pantai. Jarak kuil dari rumah lumayan jauh jika
berjalan kaki. Terlalu malas untuk mengayuh sepeda dan menantang angin lalu
meninggalkan deru napas yang tak beraturan. Lagipula, terkadang ‘dia’ ada
dipantai. Duduk berlama-lama menikmati suara ombak.
Jalanan
lenggang. Padahal biasanya saat siang, ramai sekali. Sekarang, yang terdengar
adalah suara geta yang beradu dengan aspal, senandung kecil milik Lis, siulan
lagu one and only milik Teitur yang keluar dari mulut Zaq, dan suara bising
hewan-hewan malam.
“Ara”
Suara
Zaq yang berat seakan mengakhiri siulannya yang kurasa cukup enak didengar. Aku
menoleh, tapi tidak berkata apa-apa.
“Yaah,
Pantainya sepi. Aku heran kenapa orang-orang lebih menikmati keramaian yang
membuat kepala pening” Lis berkata santai.
Zaq
berdehem, “Lis, aku duluan yang mau bicara”
Aku
terkekeh melihat mereka. Zaq yang sebal ketika ada orang yang mengganggu ketika
ia belum selesai bicara, dan Lis yang berpikir ‘memangnya ada nomor antrian
untuk mengajak berbicara sesorang’
“Ra,
saking senangnya bisa ketemu sama dia, kamu sampai senyum-senyum sendiri ya”
Zaq berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sepertinya ia lupa apa yang
hendak ia katakan tadi.
Angin
khas pantai yang membawa bau laut menyapa kami ketika kami sampai. Pasir putih
menyeruak diantara sela-sela jari kaki. Lihat, dibanding di kuil yang ramai,
disini jauh lebih tenang. Hanya ada beberapa orang yang menonton, termasuk
kami.
Aku
mengedarkan pandangan. Mengamati tiap orang yang ada di pantai. Mencari ‘dia’
yang kuharap ada diantara orang-orang itu. Dan benar saja, aku menemukannya. Ia
sibuk duduk menselonjorkan kaki. Jarang sekali melihatnya tidak bersama dengan
teman-temannya.
Lis
melepas sepatunya dan membiarkan sepatu itu teronggok begitu saja seperti
sampah yang terseret ombak lalu mendarat sempurna di atas pasir. Lis paling
suka menyusuri tepi pantai sambil bertelanjang kaki. Membiarkan air dengan
lembut menerpa telapak kakinya.
“Sarah,
Zaq, airnya dingin! Air laut dimusim panas. Ayo kesini”
Lis
setengah berteriak. Ia membiarkan dirinya terlihat bodoh dengan melambaikan
tangan kearah kami. Kalau ada orang yang bertanya siapa dia, akan kujawab, dia
bukan temanku. Sepertinya Zaq akan melakukan hal yang sama, karena ia lebih
memilih melihat langit daripada menatap kearah Lis.
“Sudah
mulai. Kembang apinya”
Tepat
setelah Zaq mengatakan itu, kembang apinya sudah melesat ke angkasa, dan pecah
meninggalkan warna-warna. Merah, biru, kuning, hijau, oranye.
Hanabi
sudah dimulai.
Di
tempat yang damai begini, kami lebih mampu menghayati tiap-tiap kembang api yang
pecah di angkasa. Ada artian tersendiri bagi orang-orang yang melihatnya.
Setiap hal punya sesuatu yang khas untuk diingat bagi orang-orang. Jika kalian
memikirkan suatu hal, dan apa yang terlintas pertama kali tentang hal itu,
adalah sesuatu yang khas yang kalian ingat dari hal itu.
Aku
menggeser dudukku. Entah sejak kapan Lis duduk disebelahku. Ia duduk sambil
memeluk lutut. Sepatunya masih berdiam disana, menunggu pemiliknya kembali
memakainya.
“Boleh
aku ikut duduk disini?”
Sebuah
suara yang kukenal itu membuatku langsung menoleh ke arah sumber suara. Lis
juga ikut menoleh, lalu cepat-cepat membuang muka saat tahu siapa yang berdiri
disana.
Shin.
“Cuma
aku yang ingin menonton di pantai. Teman-temanku pergi ke kuil. Aku melihat
kalian disini. Daripada aku sendirian, aku kesini”
Shin
tersenyum. Sudut-sudut bibirnya membentuk lengkung sempurna dengan matanya yang
menyipit hingga manik matanya susah dilihat. Entah sejak kapan aku mulai
mengagumi senyumnya.
Aku
belum mengatakan apa-apa. Tapi Lis, dengan alasan mengambil sepatunya yang
terletak disebelah Zaq, ia pindah tempat duduk dan melempar senyum dengan
artian tersendiri kearahku. Zaq hanya mengangkat bahu, yang artinya ‘terserah’
“Ya”
kataku singkat sambil berusaha mengatur degup jantungku yang tidak karuan.
“Yosh. Makasih. Aku duduk disebelahmu ya. Tak
masalah, kan?” ia masih bertahan dengan senyumnya, “Wah, yukata, ya? Cantik”
Shin
duduk menselonjorkan kakinya lagi sambil kembali menengadah melihat kembang
api. Jarakku dengannya terlalu dekat hingga bahu kami bersinggungan. Aku tidak
bisa menggeser tempat dudukku lagi, karena Zaq merapat ke arahku. Aku menunduk,
berusaha menyembunyikan ekspresi wajahku saat ini.
Kembang
api terakhir diluncurkan. Meninggalkan suara yang menggema ditelinga, dan
perasaan campur aduk yang masih terasa. Tanda hanabi musim panas tahun ini
sudah berakhir.
Shin
adalah orang pertama yang berdiri diantara kami. Ia menepuk-nepuk belakang
celananya, berusaha membersihkan pasir pantai yang mungkin masih melekat. Aku
sendiri masih sibuk dengan pikiranku. Zaq seperti biasa, tidak peduli. Dan Lis
yang sibuk berkutat membuat simpul pada tali sepatunya.
Aku sedikit
tidak percaya bahwa insting Lis kali ini benar. Aku menemukan sesuatu, Lis. Aku
menemukan senyumnya di musim panas.
(Eittss, cerita 'Semesta' masih berlanjut. jadi ini bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar