Semesta (Festival Bagian 2. Tamat)

                Sebenarnya lebih menyenangkan menonton di kuil. Dengan stand-stand makanan yang berjajar disepanjang jalan, permainan tangkap ikan mas, lampion-lampion yang disusun apik, dan hiruk pikuk keramaian khas festival kembang api.
                Tapi kami selalu menonton dari pantai. Jarak kuil dari rumah lumayan jauh jika berjalan kaki. Terlalu malas untuk mengayuh sepeda dan menantang angin lalu meninggalkan deru napas yang tak beraturan. Lagipula, terkadang ‘dia’ ada dipantai. Duduk berlama-lama menikmati suara ombak.
                Jalanan lenggang. Padahal biasanya saat siang, ramai sekali. Sekarang, yang terdengar adalah suara geta yang beradu dengan aspal, senandung kecil milik Lis, siulan lagu one and only milik Teitur yang keluar dari mulut Zaq, dan suara bising hewan-hewan malam.
                “Ara”
                Suara Zaq yang berat seakan mengakhiri siulannya yang kurasa cukup enak didengar. Aku menoleh, tapi tidak berkata apa-apa.
                “Yaah, Pantainya sepi. Aku heran kenapa orang-orang lebih menikmati keramaian yang membuat kepala pening” Lis berkata santai.
                Zaq berdehem, “Lis, aku duluan yang mau bicara”
                Aku terkekeh melihat mereka. Zaq yang sebal ketika ada orang yang mengganggu ketika ia belum selesai bicara, dan Lis yang berpikir ‘memangnya ada nomor antrian untuk mengajak berbicara sesorang’
                “Ra, saking senangnya bisa ketemu sama dia, kamu sampai senyum-senyum sendiri ya” Zaq berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sepertinya ia lupa apa yang hendak ia katakan tadi.
                Angin khas pantai yang membawa bau laut menyapa kami ketika kami sampai. Pasir putih menyeruak diantara sela-sela jari kaki. Lihat, dibanding di kuil yang ramai, disini jauh lebih tenang. Hanya ada beberapa orang yang menonton, termasuk kami.
                Aku mengedarkan pandangan. Mengamati tiap orang yang ada di pantai. Mencari ‘dia’ yang kuharap ada diantara orang-orang itu. Dan benar saja, aku menemukannya. Ia sibuk duduk menselonjorkan kaki. Jarang sekali melihatnya tidak bersama dengan teman-temannya.
                Lis melepas sepatunya dan membiarkan sepatu itu teronggok begitu saja seperti sampah yang terseret ombak lalu mendarat sempurna di atas pasir. Lis paling suka menyusuri tepi pantai sambil bertelanjang kaki. Membiarkan air dengan lembut menerpa telapak kakinya.
                “Sarah, Zaq, airnya dingin! Air laut dimusim panas. Ayo kesini”
                Lis setengah berteriak. Ia membiarkan dirinya terlihat bodoh dengan melambaikan tangan kearah kami. Kalau ada orang yang bertanya siapa dia, akan kujawab, dia bukan temanku. Sepertinya Zaq akan melakukan hal yang sama, karena ia lebih memilih melihat langit daripada menatap kearah Lis.
                “Sudah mulai. Kembang apinya”
                Tepat setelah Zaq mengatakan itu, kembang apinya sudah melesat ke angkasa, dan pecah meninggalkan warna-warna. Merah, biru, kuning, hijau, oranye.
                Hanabi sudah dimulai.
                Di tempat yang damai begini, kami lebih mampu menghayati tiap-tiap kembang api yang pecah di angkasa. Ada artian tersendiri bagi orang-orang yang melihatnya. Setiap hal punya sesuatu yang khas untuk diingat bagi orang-orang. Jika kalian memikirkan suatu hal, dan apa yang terlintas pertama kali tentang hal itu, adalah sesuatu yang khas yang kalian ingat dari hal itu.
                Aku menggeser dudukku. Entah sejak kapan Lis duduk disebelahku. Ia duduk sambil memeluk lutut. Sepatunya masih berdiam disana, menunggu pemiliknya kembali memakainya.
                “Boleh aku ikut duduk disini?”
                Sebuah suara yang kukenal itu membuatku langsung menoleh ke arah sumber suara. Lis juga ikut menoleh, lalu cepat-cepat membuang muka saat tahu siapa yang berdiri disana.
                Shin.
                “Cuma aku yang ingin menonton di pantai. Teman-temanku pergi ke kuil. Aku melihat kalian disini. Daripada aku sendirian, aku kesini”
                Shin tersenyum. Sudut-sudut bibirnya membentuk lengkung sempurna dengan matanya yang menyipit hingga manik matanya susah dilihat. Entah sejak kapan aku mulai mengagumi senyumnya.
                Aku belum mengatakan apa-apa. Tapi Lis, dengan alasan mengambil sepatunya yang terletak disebelah Zaq, ia pindah tempat duduk dan melempar senyum dengan artian tersendiri kearahku. Zaq hanya mengangkat bahu, yang artinya ‘terserah’
                “Ya” kataku singkat sambil berusaha mengatur degup jantungku yang tidak karuan.
                “Yosh. Makasih. Aku duduk disebelahmu ya. Tak masalah, kan?” ia masih bertahan dengan senyumnya, “Wah, yukata, ya? Cantik”
                Shin duduk menselonjorkan kakinya lagi sambil kembali menengadah melihat kembang api. Jarakku dengannya terlalu dekat hingga bahu kami bersinggungan. Aku tidak bisa menggeser tempat dudukku lagi, karena Zaq merapat ke arahku. Aku menunduk, berusaha menyembunyikan ekspresi wajahku saat ini.
                Kembang api terakhir diluncurkan. Meninggalkan suara yang menggema ditelinga, dan perasaan campur aduk yang masih terasa. Tanda hanabi musim panas tahun ini sudah berakhir.
                Shin adalah orang pertama yang berdiri diantara kami. Ia menepuk-nepuk belakang celananya, berusaha membersihkan pasir pantai yang mungkin masih melekat. Aku sendiri masih sibuk dengan pikiranku. Zaq seperti biasa, tidak peduli. Dan Lis yang sibuk berkutat membuat simpul pada tali sepatunya.

                Aku sedikit tidak percaya bahwa insting Lis kali ini benar. Aku menemukan sesuatu, Lis. Aku menemukan senyumnya di musim panas.
(Eittss, cerita 'Semesta' masih berlanjut. jadi ini bersambung) 

0 komentar:

Posting Komentar