Aku
menaikkan alis saat melihat ada seseorang yang tiduran ditengah lapang sambil
membelitkan selimut dibadannya. Aku merogoh ponselku, dan melihat jam. Pukul 2
pagi. Siapa pula orang yang mau tiduran ditanah lapang pukul segini? Aku
menghela napas, kalau ada orang yang bertanya hal itu kepadaku, aku akan
menjawab, ‘melihat langit’. Lalu, apa orang yang tiduran disana itu juga
berniat melihat langit?
Aku
berjalan pelan, sambil memasang sikap siaga kalau orang itu ternyata orang
gila. Tinggal beberapa langkah lagi, tapi aku sudah bisa melihat wajahnya. Ada
beberapa penyebab kenapa aku sedikit kaget. Pertama, dia bukan orang gila
seperti yang kupikirkan tadi. Kedua, dia benar-benar melihat langit.
Selama
ini, hanya aku yang melompati pagar lapuk pukul 2 pagi hanya untuk melihat
bintang di tanah lapang. Aku belum pernah mendapati ada orang lain yang
berbaring disana setelah aku melompati pagar pembatas tanah lapang ini. Belum
pernah hingga saat ini.
Orang
itu menoleh ke arahku saat sadar kalau aku disini. Ia melihatku sebentar, lalu
kembali melihat langit. Sepertinya tidak ada masalah kalau aku duduk disini.
Walaupun aku sebenarnya ingin berbaring seperti biasanya.
“Mau
lihat hujan meteor juga?”
Suaranya
yang berat memecah sepi diantara aku, dia, dan hewan-hewan malam. Aku seperti
familiar dengan suara ini, tapi, dimana? Ah mungkin suara miliknya memang
pasaran jadi aku seperti pernah mendengar suaranya.
“Ya”
kataku singkat.
Ia
menghela napas, lalu mengambil posisi duduk dengan selimut yang masih menutup
seluruh badan kecuali wajahnya.
“Singkat
sekali kamu menjawabnya. Tumben”
‘Tumben’.
Apa dia pernah berbicara denganku sebelumnya? Aku berpikir, kembali menggali
ingatan tentang suaranya. Sudah kuduga, aku memang kenal suara itu. Tapi,
pertanyaan yang sama kembali terulang. Dimana aku pernah mendengarnya?
“Dekat
rasi ophiuchus, kan?” Kataku. Sambil berusaha mencari topik baru agar aku bisa
lebih banyak mendengar suaranya.
“Kamu
yang lebih tau. Iyakan? Calon astronom?”
“Darimana
kamu tau? Siapa kamu?”
Ia
meregangkan otot-otot kakinya, lalu terdengar suara ‘fuuh’ pelan dari mulutnya.
Lalu ia tersenyum. Coba bayangkan jika kalian bertemu dengan orang asing, pukul
2 pagi, dan dia tau segalanya tentangmu. Cukup mengerikan.
“Lihat
langitnya. Udah mulai”
Aku
ikut mendongak. Biarlah pertanyaanku melayang-layang dan ikut jatuh bersamaan
dengan meteor-meteor itu. Jatuh dan tergerus. Menguap dan terlupakan. Melayang
dan kabur bersatu dengan atmosfer.
Hanya
beberapa meteor yang jatuh dalam tiap jam. Ketika adzan subuh sayup-sayup
menyelinap masuk ke dalam kupingku, orang itu lalu berdiri.
Ia
meregangkan punggungnya yang pegal karena terlalu lama duduk. Selimut miliknya tersampir
di pundak. Ada beberapa rumput-rumput kecil yang menempel pada baju dan celananya,
hasil karena tiduran tadi.
“Pulang
Mut. Udah Subuh”
‘Mut’
Aku
bangkit karena kaget. Tinggiku hanya sebahunya, membuatku sedikit menjaga jarak
karena aku enggan terlihat pendek.
“Kok
kaget? Baru sadar kalau ini aku?”
Aku
ingat. Aku ingat siapa orang ini. Pantas saja suaranya terdengar familiar,
pantas saja ia berkata kalau aku tumben sedikit bicara, karena selama ini aku
cerewet jika membicarakan banyak hal dengannya. Pantas saja kalau ia tau
segalanya tentangku.
Aku
ingat siapa pemilik mata teduh itu ketika tersenyum. Ternyata memang dia. 5
tahun telah banyak merubahnya. Tapi senyumnya masih seperti dulu.
0 komentar:
Posting Komentar