Aku mengayun-ayunkan kakiku dengan malas sambil menggeser
layar ponsel. Siang hari dengan langit biru sempurna terlalu membosankan tanpa
serat-serat seperti kapas yang melayang di atasnya. Terlalu panas jika hendak
melangkahkan kaki hanya untuk mencari udara segar.
Suara
radio dari ruang tengah sayup-sayup terdengar. Ah, aku tau sudah pukul berapa
ini tanpa harus menengok ke arah jam. Ibu selalu memutar radio pukul 2 siang.
Biasanya stasiun langganannya memutar lagu-lagu lawas saat pukul 2.
Tau
tidak, kalau lagu-lagu lawas itu terlalu sayang untuk dilewatkan Ibu? Simpel
saja jawabannya. Setiap lagu terkadang mengingatkan kita pada kejadian-kejadian
tertentu. Mungkin diantara lagu-lagu lawas yang diputar random itu terselip
lagu ketika Ibu masih sibuk-sibuknya berkutat dengan kuliah, teman, dan cinta.
Tentu saja, cinta milik Ibu sudah diambil seluruhnya oleh Ayah.
Kriiitt.
Pintu toko ini entah kenapa selalu berderit ketika di buka. Seakan
engsel-engsel pintu itu berkomplot menjerit minta diganti. Aku meletakkan
ponsel. Suara pintu itu seperti suara yang menyuruhku untuk kembali bekerja.
Asal
kau tau, keluarga ku yang sederhana dan mencintai namun tidak terlalu mencintai
musik ini memiliki toko di samping rumah. Toko kecil, seperti toko yang
menyediakan CD atau kaset-kaset lagu. Ketika libur musim panas seperti ini,
akulah penjaga toko ini. Penjaga toko aslinya yang sudah bapak-bapak itu
diberikan waktu untuk menikmati liburan dengan anak-anaknya. Yap, Ibu ku yang
menyuruhnya mengambil waktu libur. Tapi itu artinya, Ibu mengambil waktuku
untuk bermain. Tidak masalah.
”Masih
bengong menunggu pembeli?”
Tanpa
harus menengok siapa yang datang, aku sudah bisa menebaknya. Pasti orang itu.
Suaranya yang lembut itu terlalu mudah untuk dikenali. Sepatu nya beradu dengan
lantai toko, menimbulkan suara berdecit.
“Iyap.
Jarang sekali kamu mampir. Sudah mulai lupa sama teman yang suka bawa-bawa
earphone ini?” Kataku setelah ia menarik kursi dan duduk di depan meja kasir.
Ia
tertawa, menampakkan deretan gigi putih yang selalu ia bangga-banggakan itu,
“Setelah toko tutup, mau lihat festival kembang api?”
Aku
memutar bola mata sekali, lantas menaikkan alis kiriku, “Sama siapa lagi?”
Lisa
tampak mengingat-ingat siapa saja yang akan ikut, “Hmm, cuma kita bertiga. Aku,
kamu, dan Zaq. Apa kamu berharap dia akan ikut?” ia tertawa renyah. Tentu saja
menertawakan wajahku yang sepertinya langsung memerah saat ‘dia’ disebut.
Aku
melayangkan tinju ke arah pundaknya. Ia meng-aduh pelan sambil terus tertawa.
Sepinya toko mulai terisi dengan tawa-tawa menyebalkan namun suatu saat akan ku
rindukan. Tentu saja dengan suara radio Ibu yang hilang timbul itu.
“Apa
tokonya tutup jam 5 seperti biasa? Ayolah, kau harus tutup tokonya lebih awal.
Aku ingin memakaikanmu yukata”
Gadis
berambut panjang itu mengangkat tas jinjingnya, lalu menaruhnya di atas meja
kasir. Lebih tepatnya, di hadapanku. Seakan memaksa ku untuk memakainya.
“Hmmm”
“Ayolah,
Sarah”
Aku
menyingkirkan tas jinjingnya, dan mendapati wajah Lisa yang setengah memelas
itu. Aku benci kalau dia memasang wajah seperti itu. Karena aku jadi tidak tega
melihatnya. Tidak tega hingga rasanya ingin melayangkan tinju tepat di tengah
wajahnya.
Aku
menimang-nimang. Yukata, ya? Kapan terakhir kali aku membelitkan yukata
dibadanku? Ah, saat tahun baru. Kenapa harus repot-repot memakai yukata hanya
untuk menikmati kembang api? Gerah, berjalan pun susah, tidak bisa berlari atau
lompat, dan lama sekali memakainya.
Tapi,
apa ‘dia’ akan ada disana?
“Oke.
Waktu berpikir sudah habis. Karena kau masih diam saja, kuanggap kamu setuju”
Kebiasaan
Lisa yang suka seenaknya kembali muncul. Ia bangkit dari kursinya, lalu
berjalan ke arah pintu toko. Ia membalik tanda ‘open’ menjadi ‘closed’ dan
menutup kerai jendela yang ada di samping pintu.
“Lis,
tunggu. Kamu juga pakai kan? Yukata”
“Sarah,
coba pikir, kenapa aku harus memakai yukata yang menyulitkanku untuk bergerak?
Lagipula, kita hanya pergi melihat kembang api di pantai”
Saat
ini aku ingin melempar tas jinjing itu ke arahnya. Kalau ia tau seperti itu,
lantas kenapa ia ngotot sekali menyuruhku memakainya. Baru sempat kupegang tali
tas, Lisa kembali berkata
“Kau
akan menemukan sesuatu disana. Percayalah padaku”
“Bagaimana
aku bisa mempercayaimu?”
“Percayalah
pada instingku, Sarah” Ia tersenyum. Lagi.
Belum
sempat aku protes, Lis sudah menarik tanganku untuk bangkit dari kursi malas.
Lis menyapa Ibu ku dengan ramah dan senyum andalannya, lalu menaiki tangga ke
arah kamarku. Hei Lis, aku jadi merasa kalau rumah ini malah seperti rumahmu.
1 jam
Lis habiskan untuk memakaikanku yukata. Rambutku yang panjang sepunggung,
digelung tinggi-tinggi dengan hiasan jepit kupu-kupu. Ah, aku yang seperti ini,
terlihat lebih feminin ya. Mengingat kalau aku selalu pakai celana panjang dan
kaus polosan kemana-mana, lengkap dengan earphone yang kukalungkan di leher.
Lebih terkesan macho daripada feminin.
Aku
menarik sepatu putih usang milikku dari rak sepatu. Lis berdehem. Saat aku
hendak memakainya, Lis kembali berdehem. Lebih keras.
“Sarah,
kamu tidak akan pakai sepatu usang itu, kan?”
“Akan
kupakai, Lis”
Dalam
hitungan detik, Lis sudah menyambar sepatuku. Ia menyembunyikannya dibalik
punggungnya. Lis mengeluarkan sepasang alas kaki yang akan kupakai. Aku
menghela napas. Apa belum cukup hanya memakai yukata, Lis? Kamu mau aku jadi
boneka mu malam ini?
Geta.
“Pakai
ini. Lagipula, tidak ada segi kecocokan antara sepatu mu itu dengan pakaian dan
dandananmu, Sarah”
“Lis,
kamu tau kan alasan kenapa aku selalu memakai itu?”
Sepatu
usang itu ringan. Ketika aku memakainya, rasanya seperti tak mengenakan alas
kaki di kakiku. Rasanya seperti benar-benar memjiak tanah. Walaupun Ibu
berulang kali menyuruhku membeli yang baru, aku tetap kukuh memakai itu. Saat
berlari, seperti menyepak angin. Itu menyenangkan.
“Kali
ini saja. Lupakan sepatu putihmu. Pakai ini”
Aku
menghela napas. Aku mengalah lagi.
Zaq
sudah menunggu di depan rumahku. Pakaian miliknya sederhana sekali. Aku iri
kenapa Lis tidak membiarkanku memakai kaos dan jeans seperti biasa. Zaq menoleh
ketika mendengar suara geta yang beradu dengan jalan setapak. Menghasilkan
suara klek klek klek.
“Ara?
Kamu Ara kan? Astaga hantu apa yang merasukimu sampai-sampai kamu berubah
menjadi seperti ini?”
Zaq
adalah satu-satunya manusia yang memanggilku ‘Ara’. Karena ia lebih suka nama
yang singkat ketika diucapkan. Lebih mudah diingat, begitu katanya.
“Lis
yang melakukan ini”
Lis
tersenyum, “Bagaimana? Keren kan? Sekali-sekali cobalah hal yang baru, Sarah”
Zaq
mangut-mangut sambil mengamatiku dari geta menyebalkan itu sampai hiasan rambut
kupu-kupu yang dipasangkan oleh Lis. Zaq tertawa. Terdengar seperti tawa
mengejek di telingaku. Satu pukulan ringan melayang di lengannya.
“Aduh,
Ara! Perempuan cantik jangan suka pukul-pukul” Zaq tertawa sambil memegangi
lengannya, “Ah, karena ‘dia’ ya, kamu jadi tampil berbeda” lanjutnya lagi.
Lagi-lagi,
‘dia’ disebut.
0 komentar:
Posting Komentar