Semesta (Festival Bagian 1)

Aku mengayun-ayunkan kakiku dengan malas sambil menggeser layar ponsel. Siang hari dengan langit biru sempurna terlalu membosankan tanpa serat-serat seperti kapas yang melayang di atasnya. Terlalu panas jika hendak melangkahkan kaki hanya untuk mencari udara segar.
                Suara radio dari ruang tengah sayup-sayup terdengar. Ah, aku tau sudah pukul berapa ini tanpa harus menengok ke arah jam. Ibu selalu memutar radio pukul 2 siang. Biasanya stasiun langganannya memutar lagu-lagu lawas saat pukul 2.
                Tau tidak, kalau lagu-lagu lawas itu terlalu sayang untuk dilewatkan Ibu? Simpel saja jawabannya. Setiap lagu terkadang mengingatkan kita pada kejadian-kejadian tertentu. Mungkin diantara lagu-lagu lawas yang diputar random itu terselip lagu ketika Ibu masih sibuk-sibuknya berkutat dengan kuliah, teman, dan cinta. Tentu saja, cinta milik Ibu sudah diambil seluruhnya oleh Ayah.
                Kriiitt. Pintu toko ini entah kenapa selalu berderit ketika di buka. Seakan engsel-engsel pintu itu berkomplot menjerit minta diganti. Aku meletakkan ponsel. Suara pintu itu seperti suara yang menyuruhku untuk kembali bekerja.
                Asal kau tau, keluarga ku yang sederhana dan mencintai namun tidak terlalu mencintai musik ini memiliki toko di samping rumah. Toko kecil, seperti toko yang menyediakan CD atau kaset-kaset lagu. Ketika libur musim panas seperti ini, akulah penjaga toko ini. Penjaga toko aslinya yang sudah bapak-bapak itu diberikan waktu untuk menikmati liburan dengan anak-anaknya. Yap, Ibu ku yang menyuruhnya mengambil waktu libur. Tapi itu artinya, Ibu mengambil waktuku untuk bermain. Tidak masalah.
                ”Masih bengong menunggu pembeli?”
                Tanpa harus menengok siapa yang datang, aku sudah bisa menebaknya. Pasti orang itu. Suaranya yang lembut itu terlalu mudah untuk dikenali. Sepatu nya beradu dengan lantai toko, menimbulkan suara berdecit.
                “Iyap. Jarang sekali kamu mampir. Sudah mulai lupa sama teman yang suka bawa-bawa earphone ini?” Kataku setelah ia menarik kursi dan duduk di depan meja kasir.
                Ia tertawa, menampakkan deretan gigi putih yang selalu ia bangga-banggakan itu, “Setelah toko tutup, mau lihat festival kembang api?”
                Aku memutar bola mata sekali, lantas menaikkan alis kiriku, “Sama siapa lagi?”
                Lisa tampak mengingat-ingat siapa saja yang akan ikut, “Hmm, cuma kita bertiga. Aku, kamu, dan Zaq. Apa kamu berharap dia akan ikut?” ia tertawa renyah. Tentu saja menertawakan wajahku yang sepertinya langsung memerah saat ‘dia’ disebut.
                Aku melayangkan tinju ke arah pundaknya. Ia meng-aduh pelan sambil terus tertawa. Sepinya toko mulai terisi dengan tawa-tawa menyebalkan namun suatu saat akan ku rindukan. Tentu saja dengan suara radio Ibu yang hilang timbul itu.
                “Apa tokonya tutup jam 5 seperti biasa? Ayolah, kau harus tutup tokonya lebih awal. Aku ingin memakaikanmu yukata”
                Gadis berambut panjang itu mengangkat tas jinjingnya, lalu menaruhnya di atas meja kasir. Lebih tepatnya, di hadapanku. Seakan memaksa ku untuk memakainya.
                “Hmmm”
                “Ayolah, Sarah”
                Aku menyingkirkan tas jinjingnya, dan mendapati wajah Lisa yang setengah memelas itu. Aku benci kalau dia memasang wajah seperti itu. Karena aku jadi tidak tega melihatnya. Tidak tega hingga rasanya ingin melayangkan tinju tepat di tengah wajahnya.
                Aku menimang-nimang. Yukata, ya? Kapan terakhir kali aku membelitkan yukata dibadanku? Ah, saat tahun baru. Kenapa harus repot-repot memakai yukata hanya untuk menikmati kembang api? Gerah, berjalan pun susah, tidak bisa berlari atau lompat, dan lama sekali memakainya.
                Tapi, apa ‘dia’ akan ada disana?
                “Oke. Waktu berpikir sudah habis. Karena kau masih diam saja, kuanggap kamu setuju”
                Kebiasaan Lisa yang suka seenaknya kembali muncul. Ia bangkit dari kursinya, lalu berjalan ke arah pintu toko. Ia membalik tanda ‘open’ menjadi ‘closed’ dan menutup kerai jendela yang ada di samping pintu.
                “Lis, tunggu. Kamu juga pakai kan? Yukata”
                “Sarah, coba pikir, kenapa aku harus memakai yukata yang menyulitkanku untuk bergerak? Lagipula, kita hanya pergi melihat kembang api di pantai”
                Saat ini aku ingin melempar tas jinjing itu ke arahnya. Kalau ia tau seperti itu, lantas kenapa ia ngotot sekali menyuruhku memakainya. Baru sempat kupegang tali tas, Lisa kembali berkata
                “Kau akan menemukan sesuatu disana. Percayalah padaku”
                “Bagaimana aku bisa mempercayaimu?”
                “Percayalah pada instingku, Sarah” Ia tersenyum. Lagi.
                Belum sempat aku protes, Lis sudah menarik tanganku untuk bangkit dari kursi malas. Lis menyapa Ibu ku dengan ramah dan senyum andalannya, lalu menaiki tangga ke arah kamarku. Hei Lis, aku jadi merasa kalau rumah ini malah seperti rumahmu.
                1 jam Lis habiskan untuk memakaikanku yukata. Rambutku yang panjang sepunggung, digelung tinggi-tinggi dengan hiasan jepit kupu-kupu. Ah, aku yang seperti ini, terlihat lebih feminin ya. Mengingat kalau aku selalu pakai celana panjang dan kaus polosan kemana-mana, lengkap dengan earphone yang kukalungkan di leher. Lebih terkesan macho daripada feminin.
                Aku menarik sepatu putih usang milikku dari rak sepatu. Lis berdehem. Saat aku hendak memakainya, Lis kembali berdehem. Lebih keras.
                “Sarah, kamu tidak akan pakai sepatu usang itu, kan?”
                “Akan kupakai, Lis”
                Dalam hitungan detik, Lis sudah menyambar sepatuku. Ia menyembunyikannya dibalik punggungnya. Lis mengeluarkan sepasang alas kaki yang akan kupakai. Aku menghela napas. Apa belum cukup hanya memakai yukata, Lis? Kamu mau aku jadi boneka mu malam ini?
                Geta.
                “Pakai ini. Lagipula, tidak ada segi kecocokan antara sepatu mu itu dengan pakaian dan dandananmu, Sarah”
                “Lis, kamu tau kan alasan kenapa aku selalu memakai itu?”
                Sepatu usang itu ringan. Ketika aku memakainya, rasanya seperti tak mengenakan alas kaki di kakiku. Rasanya seperti benar-benar memjiak tanah. Walaupun Ibu berulang kali menyuruhku membeli yang baru, aku tetap kukuh memakai itu. Saat berlari, seperti menyepak angin. Itu menyenangkan.
                “Kali ini saja. Lupakan sepatu putihmu. Pakai ini”
                Aku menghela napas. Aku mengalah lagi.
                Zaq sudah menunggu di depan rumahku. Pakaian miliknya sederhana sekali. Aku iri kenapa Lis tidak membiarkanku memakai kaos dan jeans seperti biasa. Zaq menoleh ketika mendengar suara geta yang beradu dengan jalan setapak. Menghasilkan suara klek klek klek.
                “Ara? Kamu Ara kan? Astaga hantu apa yang merasukimu sampai-sampai kamu berubah menjadi seperti ini?”
                Zaq adalah satu-satunya manusia yang memanggilku ‘Ara’. Karena ia lebih suka nama yang singkat ketika diucapkan. Lebih mudah diingat, begitu katanya.
                “Lis yang melakukan ini”
                Lis tersenyum, “Bagaimana? Keren kan? Sekali-sekali cobalah hal yang baru, Sarah”
                Zaq mangut-mangut sambil mengamatiku dari geta menyebalkan itu sampai hiasan rambut kupu-kupu yang dipasangkan oleh Lis. Zaq tertawa. Terdengar seperti tawa mengejek di telingaku. Satu pukulan ringan melayang di lengannya.
                “Aduh, Ara! Perempuan cantik jangan suka pukul-pukul” Zaq tertawa sambil memegangi lengannya, “Ah, karena ‘dia’ ya, kamu jadi tampil berbeda” lanjutnya lagi.
                Lagi-lagi, ‘dia’ disebut.

0 komentar:

Posting Komentar