Napasku
tersenggal-senggal dengan keringat mengucur di dahiku. Aku tertawa tanda
kemenangan saat melihat Nobu menangkap Keita. Arigatou, Nobu!
Saat Keita melompat dari atas tangga tadi, antara perasaan kaget dan khawatir,
akhirnya aku tetap mengejarnya tanpa berhenti untuk mengkhawatirkannya.
“Haru-san,
Keita mau kamu jadikan apa?” Nobu bertanya setelah aku menghampiri mereka di
gerbang. Aku mengucapkan terima kasih pada Nobu dan berjanji akan mentraktirnya
makan.
Mentari
menyusulku dengan napas tersenggal-senggal, “Harumi-san, kenapa lari-lari?
Kenapa aku kamu tinggal di kantin?”
Aku
membulatkan mata, “Gomennasai Mentari! Aku baru inget kalau ada orang yang
mau ngambil sesuatu dari tasku” Aku melirik Keita dengan tatapan ‘kembalikan
kertasku’
Aku
menghampiri Keita dan memegang tangannya erat. Takut kalau ia akan kabur lagi.
Aku menyambar kertas-kertas di tangannya dan meremas kertas itu. Kertas dan
segala rencana yang ada disana sudah tak berguna lagi.
Keita
sudah tersenyum.
“Lho? Kok
dibuang?” Mentari bertanya dengan wajah khawatir. Karena ia tau kertaas itu
penting buatku dan aku benar-benar memikirkan semua rencana itu.
Aku
menggeleng dan tersenyum kearahnya, “Nggak papa kok. Tanpa rencana itu, Keita
bisa tersenyum”
Keita
menunduk, enggan melihatku. Aku menepuk kedua pipinya dan mengangkat wajahnya
untuk melihatku, walaupun tinggi Keita jauh diatasku dan mengharuskan kakiku
untuk berjinjit, “Bohong. Kata-kata mu tentang kamu yang tak bisa tersenyum. Kamu
bisa tersenyum, Keita. Walaupun jarang”
“Oi,
aku Cuma mengambil kertasmu, kenapa sampai segitunya kamu buang?” ia
menghiraukanku. Oh, jadi kertas itu ya? Jangan mengabaikanku baka!
“Tadi
kamu tersenyum entah dengan alasan apa. Kenapa kamu tak menjadikan alasan itu
untuk membuat senyum-senyum mu yang berikutnya? Karena alasan itu membuat mu
bahagia”
Keita
masih diam bergeming dan beberapa kali ia memalingkan muka enggan menatap
mataku. Dia bukan alien dari planet lain yang sulit merasakan kebahagiaan. Senyumnya
memang ada, ia juga bisa merasa bahagia. Senyummu itu ada!
“Keita,
aku tau itu sulit. Woi baka, yang nyuruh untuk tidak memanjakan penyakit dan
melawannya itu siapa?” aku menarik kedua pipinya dan membuat wajahnya menjadi aneh,
aku ingin tertawa tapi, jangan sekarang, “Lawan”
“Harumi-san?
Tenang dulu, ya?” Mentari mendekat ke arahku dan menyuruhku agar tetap tenang. Bagaimana
aku bisa tenang kalau ini tentang Keita yang masih belum bisa tersenyum? Aku mengangguk
seadanya ke arah Mentari.
“Mungkin
memang butuh waktu untuk berubah. tapi kalau kamu memang ingin berubah, kamu
bisa. Lalu, jangan pernah melempar senyum palsu ke arahku. Aku akan menunggu
senyum aslimu, Keita. Senyum kejutan milikmu” aku melepaskan tanganku darinya. Kakiku
pegal, tapi aku sudah mengataan semua yang ingin kukatakan.
Aku meraba
perutku, lalu menyadari sesuatu. Aku belum makan dari tadi dan sekarang energi
ku habis, “Mentari, Nobu, ayo makan” aku menarik tangan mereka berdua.
“Haru-san,
Keita teriak tuh” Nobu menunjuk ke arah Keita yang menggerutu nggak jelas.
Aku tertawa,
“Biar. Semoga saja dia nyusul ke kantin”
Sebenarnya
aku kurang tau ia menggerutu tentang apa, tapi yang kudengar hanya ‘Oi, kenapa
aku ditinggal?’
0 komentar:
Posting Komentar