Aku
berdiri di atas ayunan. Merasakan angin yang menerpa tubuhku dengan keras. Aku
tak takut jatuh karena merasakan angin seperti ini seperti menantang angin.
Mengerti maksutku? Aku mendongak melihat langit yang perlahan berubah warna.
Aku masih belum ingin pulang.
“Woi”
suara itu membuatku menoleh kaget. Lalu aku menemukan Keita duduk di atas
sepeda merah miliknya. Wajahnya datar seperti biasa. Aku masih mengayun ayunan
saat Keita mendekat.
“Kamu
nggak pulang? Udah sore juga” ia duduk di ayunan yang bersebelahan denganku. Ia
mengayunnya pelan, sedangkan aku, aku mengayun dengan cepat. Semakin tinggi
semakin tinggi. Rasanya seperti bisa menyentuh langit.
Kadang
aku berpikir, jika aku mempunyai sayap dan terbang ke luar angkasa, apa sayapku
akan hangus terbakar saat menyentuh atmosfer dan jatuh terhempas kembali ke
bumi? Setinggi apa aku harus terbang agar sampai ke luar angkasa?
Lamunanku
buyar saat Keita memanggilku lagi. Lalu aku sadar, aku belum menjawab
pertanyaannya. ‘Paling enak memang melihat senja, jadi aku belum mau pulang’
aku berbicara dengan diriku sendiri sambil melihat langit. Keita esper, bagiku.
Mungkin ia mengerti.
Ia
melirik tas biru tua milikku dengan kertas-kertas yang bertebaran di atasnya
tergeletak asal di atas tanah. Aku langsung melambatkan ayunan dan melompat
turun. Lalu cepat-cepat menyambar kertas-kertas itu dan memasukkannya ke dalam
tas.
“Apa
lihat-lihat?” kataku asal sambil merapikan isi tas yang sebenarnya tak perlu di
rapikan lagi. Keita langsung membuang muka tanpa berkata apa-apa. Tapi aku
yakin ia membaca tulisan yang kutulis.
Cara Membuat Keita Tersenyum XD
Keita
beranjak dari duduknya, lalu berjalan ke arah sepedanya dengan tangan yang ia
masukkan ke dalam saku celana, “Aku memang tak bisa terse-“
Sepatu
warna biru tua milikku melayang mengenai punggungnya. Spontan aku melemparnya
saat aku melihat sepatuku yang terjejal di dalam tas, “Keita berisik. Kamu bisa
tersenyum. Ada banyak hal menyenangkan yang mengelilingimu”
Ia
menggeleng. Rasanya kali ini aku ingin berlari dan menubruknya dari belakang,
tapi, kurasa itu agak menakutkan, jadi aku tetap berdiri di samping tasku,
“Bisa. Saat melihat hal yang menyenangkan, saat menemukan sesuatu yang kamu
cari, saat memenangkan sesuatu, saat melihat teman-temanmu bertingkah konyol,
atau saat-saat lain yang membuatmu senang. Saat orang merasa senang, mereka
tersenyum di dalam hati. Sama sepertimu, kamu mungkin tersenyum dalam hati.
Kamu sudah sering tersenyum. Kamu hanya kurang ekspresi wajah, tapi perasaan mu
tidak mati”
“Kamu..
Nggak capek ngomong terus?” Keita berbalik melihatku sambil mengelus
punggungnya. Kali ini, keinginanku untuk menubruknya makin kuat. Tapi, melihat
dia yang mengelus punggungnya, kuurungkan niatku.
“Tak
perlu senyum palsu lagi tapi itu bakal membuat wajahmu kaku ya? Hmm berarti
kamu perlu latihan senyum” aku lalu memasang senyum dengan jari telunjuk yang
menunjuk ke bibirku. Tanda untuk menyuruhnya tersenyum sepertiku“
“Ya
udah, ayo pulang. Sekarang udah jam berapa?” ia malah memarahiku.
Aku menyambar
tas dan naik di bagian belakang sepedanya sambil memegang pundaknya, “Balasan
karena kamu masih belum mau senyum. Jalan!”
“Sejak
kapan aku jadi sopirmu?”
Aku
tertawa, “Keita, banyak orang yang ingin agar kamu tersenyum. Sugura, Mentari,
mereka memarahimu karena ingin melihatmu senyum. Bukan hanya mereka, mungkin
Ami juga. Aku juga”
Keita
hanya mengangguk-anguk sambil mulai mengayuh sepeda. Saat ini, dia berpikir
tentang apa ya?
“Saat
kamu merasa bahagia, kamu akan tersenyum”
0 komentar:
Posting Komentar