Where's My Happiness?

(Maaf ada kesamaan nama, penulisnya kurang hebat nentuin nama :v)
     Aku menemukannya berdiri di ambang pintu kamarku dengan senyum yang melengkung di wajahnya. Seragam putihnya tampak lusuh karena keringat.
                “Aku berlari kesini” ia menatapku dengan napas yang tersenggal-senggal sehabis berlari jauh. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan-pelan, “Aku punya sesuatu untukmu” matanya berbinar-binar melihatku.
                Aku menengok jam yang ada di kamarku. Jam segini seharusnya sekolah belum saatnya pulang. Pasti ada sesuatu yang penting sampai ia mau berlari dari sekolah kesini, “Sesuatu apa?”
                Mei mengelap keringat dengan sebelah tangan. Ia tak menjawab pertanyaanku, tapi senyum di wajahnya semakin lebar, “Aku nggak mau bilang sekarang” setelah mengatakan itu, tiba-tiba ia menarik tanganku. Bekas infus masih ada di sana.
                “Mau kemana?” belum sempat aku protes, ia cepat-cepat menggiringku menuruni tangga, lalu membuka pintu rumah. Sebenarnya aku bisa saja mengibaskan tangannya, tapi entah kenapa, aku ingin mengikutinya.
                Aku mengidap sebuah penyakit yang bisa membunuhku 2,5 tahun kemudian. Dokter, maupun orangtua ku tak mau memberi tau ku tentang penyakit yang menyerangku. Aku banyak mengkonsumsi obat-obatan dan sering bolak-balik masuk rumah sakit saat tiba-tiba merasa pening di kepala. Aku menganggap penyakit kepala yang sepele, tapi kenapa bisa membuat umurku memendek?
                Yang kuketahui, aku akan mati sebentar lagi. Tak ada harapan  atau mimpi. Aku membuang semua itu. Buat apa aku memiliki itu semua saat tau kalau umurku tinggal sebentar lagi? Saat tak bisa menggapai semua harapan yang tinggi itu, bukannya malah hanya akan membuatku makin menderita?
                Aku bisa medengar napasnya yang tersenggal-senggal. Mei hampir terjatuh beberapa kali, tapi ia tetap berlari sambil menggenggam tanganku. Saat aku tanya mau kemana, ia hanya menoleh kearahku sambil tersenyum jail.
                “Sampai!” ia berkata dengan suara lantang. Setelah mengatakan itu, ia terduduk lesu sambil sibuk mengelap keringat yang mengucur dari dahinya, “Raihan, kita sampai”
                Aku menatapnya bingung. Tak mengerti maksutnya kenapa ia membawaku ke taman dekat rumahku saat matahari sedang terik-teriknya. Taman ini hanya taman sederhana dengan pohon besar yang ada di tengah-tengahnya. Karena dahan-dahannya yang menjulang kokoh, makannya dibangun sebuah rumah pohon disana.
                Sebuah balon merah muncul dari balik pohon. Melambung tinggi di langit dengan terik sinar matahari. Lalu, muncul balon-balon lagi dari balik pohon.
                “Rai, lihat balon-balon itu” Mei mengacungkan telunjuknya kearah balon-balon yang mulai terbang tinggi berbaur dengan warna biru nya langit. Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya terus melihat balon-balon itu terbang, lalu meletus satu-persatu karena sinar matahari yang panas menyengat.
                Syawal dan Rin muncul dari balik pohon. Mereka masih mengenakan seragam putih abu-abu dan tas punggung yang tersampir di pundak. Ditangan Rin, ada 4 balon dengan warna yang berbeda.
                Sampai sekarang, aku masih belum mengerti apa maksut mereka melakukan hal ini. Kalau ini untuk merayakan karena aku baru saja keluar dari rumah sakit, kurasa ini terlalu.. terlalu repot. Karena aku sering bolak-balik rumah sakit.
                Mei berjalan mendekati mereka dengan matanya yang berbinar-binar. Ia membisikkan sesuatu di telinga Syawal, Rin terkikik geli saat mendengarnya. Lalu Mei mengambil 4 balon di tangan Syawal, anak laki-laki dengan kacamata frame hitam itu melempar senyum kearahku.
                “Untuk apa balon-balon itu?” aku semakin penasaran tentang mereka yang rela melepas puluhan balon di langit walau mereka tau akhirnya balon-balon itu akan meletus juga saat tertimpa cahaya matahari.
                Mereka tak menjawabnya. Syawal pura-pura sibuk membenarkan letak kacamatanya sambil memalingkan muka. Rin sibuk bersiul-sibul sambil memberikan semua balon itu ke Mei.
                “Yang abu-abu untuk Syawal, yang hijau untuk Rin, yang merah untukku, lalu, untuk Raihan warna biru” Mei membagikan balon itu sesuai warna kesukaan kami. Ada kertas yang terikat di balon milikku. Hanya balon milikku yang terikat kertas di bawahnya.
                “Tulis harapanmu, Rai” Mei menunjuk kertas itu, lalu tergesa-gesa mengeluarkan pen dari saku roknya.
                Aku tak punya harapan. Mereka semua tau itu, “Aku tak punya harapan” kataku datar sambil mengabaikan pen yang ada di tangan Mei.
                Rin berdehem, “Nggak mungkin. Setiap orang pasti punya Rai, termasuk kamu. Walaupun aku bego kalo tentang pelajaran, aku masih punya harapan. Aku pengen jadi gitaris, Rai”
                “Aku ingin jadi mangaka, penulis, dan vokalis. Dengan tulisan-tulisan yang kubuat, aku ingin banyak orang membacanya” Kali ini, giliran Syawal yang membeberkan harapannya. Sorot matanya serius menatapku.
                Mei tetap mengulurkan pen di tangannya, “Rai, tanpa harapan atau mimpi, manusia bakal merasa hampa. Karena tak ada sesuatu yang harus di perjuangkan”  
                “Aku sudah lama mati” jawabku asal. Syawal mendekatiku, lalu-
                Sedetik kemudian, tinjunya melayang lalu mendarat tepat di wajahku. Mataku berkunang-kunang, aku tak bisa melihat ekspresi Syawal saat meninjuku, “jangan berkata omong kosong! Jangan berbohong pada diri sendiri”
                Aku balas meninju wajahnya, tak terima dengan apa yang ia lakukan padaku, “Tau apa kalian? Umurku tinggal 2,5 tahun lagi! Dengan umur segitu, aku bisa apa? Aku hanya harus menunggu kematian!”
                Mei menangis tanpa suara saat aku mengatakan tentang umurku yang memendek. Hanya dia yang tak tau tentang hal ini. Karena aku tau kalau ia akan menangis. Aku tak suka melihatnya menangis.
                “Lalu, apa kaitannya umur dengan harapan? Dengan umurmu itu, seharusnya kamu bisa melakukan banyak hal yang berguna kan? Dengan harapan, manusia semakin kuat karena ingin menggapainya. Urusan gagl atau berhasil, itu masalah belakangan. Yang penting kan mencoba” Suaranya bergetar saat mengatakan itu.  Ia menghapus bekas air mata di pipinya. Lalu sekali lagi, ia menyodorkan pen itu untukku.
                “Tak ada gunanya menulis harapan di atas kertas yang terikat di balon. Pada akhirnya, balon biru ini akan meletus. Dan tak ada yang berubah”
                “Jadi, kamu mau mati tanpa melakukan apa-apa?” suara berat Rin membuatku sadar akan sesuatu yang terlupakan, “Walaupun menulis harapan ini tak ada gunanya, tapi biarkan semua tau kalau Rai adalah seseorang yang punya harapan dan berjuang untuk melawan penyakitnya”
                Mungkin mereka ada benarnya. Aku maju beberapa langkah dan megambil pen itu dari tangan Mei. Mei terperangah lalu tersenyum lebar.
                Aku menerbangkan balon itu setelah selesai menulisnya. Mereka menerbangkan balon milik mereka. Balon kami, bersama-sama pergi menjelajahi biru nya langit.
                “Raihan, apa yang kamu tulis?” Mei menoleh ke arahku. Kali ini gantian aku yang tersenyum jail sambil menempelkan telunjuk di bibir.
                “Rahasia”

                ‘Masih tak ada harapan yang terlintas di benakku. Tapi mungkin, ada hal yang ingin kusampaikan. Sebenarnya, aku tak ingin mati. Aku masih ingin tertawa dengan semuanya. Dengan Syawal, Rei, lalu Mei. Bersama mereka, aku menemukan kebahagiaan. Mereka yang membuatku terus bertahan dan membuatku tidak menyerah pada keadaan. Aku ingin lebih lama bersama mereka’

0 komentar:

Posting Komentar