Indifference

Indifference
                Aku diam membisu. Tak ada yang bisa kuucapan. Semua deretan kata-kata yang kususun, semuanya tercekat di tenggorakanku. Telapak tanganku dingin. Aku tak bisa menjelaskan ekspresi wajahku sekarang. Yang paling terlihat jelas, kaget. Aku kaget sekaligus merasa bersalah.
                Kertas yang tadi nya kupegang, sekarang jatuh begitu saja. Sekarang, aku tau alasan kenapa ia menyerah. Aku perih membacanya. Padahal bukan aku yang berada di posisinya dan merasakan itu semua.
                “Itu alasan kenapa aku menyerah” suara Keita memecah hening. Wajahnya sendu dengan tatapan mata menerawang jauh melihat ke arah luar jendela.
                Bukan. Bukan aku yang tersakiti. Bukan aku yang menerima itu semua. Tapi kenapa aku merasa sakit? Kenapa aku merasa sedih? Apa aku bersimpati pada laki-laki yang ada dihadapanku ini? Apa aku bisa merasakan itu karena mengalami hal yang sama?  Aku tak tau. Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di benakku.
                Kurasa aku memang belum berubah. Aku masih aku yang dulu. Aku yang menangis saat melihat temanku tersakiti. Aku ingat tentang aku yang menangis keras sekali saat melihat darah mengucur dari lutut temanku. Temanku hanya menatapku bingung sambil sibuk meniup-niup lututnya. Lalu ia berkata, “Kamu kenapa? Kan bukan kamu yang jatuh. Yang sakit itu aku, jadi jangan menangis lagi” ia tersenyum. Tanpa sadar, tangisku berhenti.
                Anak cengeng yang selalu bersembunyi dibalik punggung seseorang.
                “Keita,” aku memanggilnya pelan. Nada suaraku sudah tak setinggi tadi, “aku minta maaf. Aku tiba-tiba marah tanpa alasan yang jelas. Aku hanya tak ingin melihatmu menyerah”
                Keita hanya melihatku dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Aku tak tau apa yang ia rasakan sekarang. Apa Keita benar-benar menyerah? Untuk orang yang sangat disayangi, seharusnya tak bisa menyerah begitu saja sambil melihatnya pergi menjauh.
                “Yakin ingin menyerah?” aku bertanya dengan hati-hati.
                “Jalan satu-satunya agar tak merasakan sakit lebih jauh lagi, adalah menyerah kan?”
                Aku tersenyum kecut sambil menyambar tas punggung biru ku  yang kuletakkan asal di atas meja. Aku sudah mendengar jawabannya. Pikiranku kacau. Aku merasa bersalah. Aku ingin pulang sekarang. Karena aku tak tau kata-kata apa yang tepat untuk menjelaskan semuanya.
                “Ada 2 cara menyukai seseorang. Berjuang mendapatkannya, atau diam dan membiarkannya pergi” setelah mendengar Keita mengatakan itu, aku berlalu meninggalkannya.
                Koridor sekolah sudah sepi. Hanya ada beberapa murid yang datang untuk mengikuti ekstrakulikuler. Sekali-sekali, aku ingin bolos dari eksra band. Aku meletakkan earphone hitam di telingaku. Memutar musik dengan pukulan drum yang keras memenuhi telinga. Aku seakanhanyut dengan alunan musik.
                Saat tiba di gerbang sekolah, langkahku terhenti. Aku menemukanya  bersandar pada gerbang sambil sibuk tertawa. Rei. Ia dengan tawanya, sibuk tertawa dengan gadis yang tak ingin kulihat.

                Tak ada yang bisa menolongku.

0 komentar:

Posting Komentar