Indifference

                Aku menarik kerah bajunya. Mataku melotot tajam menatapnya, sedangkan ia hanya memalingkan wajahnya enggan menatapku, “Mau mu apa? Kamu meyuruhku untuk tidak menyerah, tapi, kenapa kamu tiba-tiba mengumumkan kalau kamu menyerah?” nada suaraku meninggi. Untung semua orang di kelas sudah pulang, kalau tidak, berani taruhan mereka pasti menatapku dengan ekspresi kaget. Karena aku yang terkenal jarang marah, bisa membentak orang seperti ini.
                Detik-detik kemudian, yang terdengar  hanya suara detik jam. Hening. Ia masih belum menjawab pertanyaanku.
                Keita menghela nafas panjang, lalu pelan-pelan ia melepaskan tanganku dari kerah bajunya. Ia menatapku lekat-lekat dengan ekspresi datar. Seakan ia berusaha mencari jawaban kenapa aku bisa membentaknya sekeras ini.
                “Keita bukan orang yang mudah menyerah! Buktinya, kamu berkata dengan senyum kemenangan kalau kamu tak mau kalah denganku dalam hal menggambar” aku tak menurunkan nada suaraku, aku benar-benar kesal sekarang. Kalau aku laki-laki, mungkin tinju ku sudah melayang mengenai wajahnya. Tapi untungnya aku perempuan.
                “Mungkin, ini sama seperti kamu menyerah tentang Rei”
                “Kamu juga tak menyerah dan berusaha mencari solusi untukku saat aku mencceritakan hal tentang Rei. Kemana semangatmu?” aku tak mau mendengar alasan seperti itu. Kalau itu untuk mengalihkan pembicaraan, aku tak mau kalah.
                Keita lagi-lagi menghela nafas. Mungkin ia lelah menghadapi anak perempuan yang merepotkan sepertiku. Aku tak peduli. Ia berjalan pelan ke bangku paling depan, lalu duduk disana, “Ada saatnya untuk menyerah”
                Aku berjalan menghamprinya dengan rasa kesal yang masih menumpuk, “Kenapa kamu menyerah dan tau kalau mengejarnya itu sia-sia padahal kamu belum berusaha apa-apa? Kamu belum melakukan apa-apa! Darimana kamu tau? Jangan sok tau tentang hal yang akan terjadi di masa depan. Masa depan bisa berubah kapan saja!”
                Keita marah ketika aku mengatakan itu. Dia menatapku dengan tajam, “Aku tau itu semua tanpa harus kau beri tau. Aku menyerah karena ia tak mungkin menjadi milikku!”
                “Apa jatuh cinta harus memiliki? Apa menyukai seseorang harus berarti memiliki? Aku memang tak tau apa-apa tentang cinta, tentang hubungan 2 manusia yang saling terikat, tapi, aku hanya ingin bertanya itu”
                Cinta yang terabaikan. Rei mengabaikanku apapun usahaku. Rei, teman masa kecilku, tak pernah tau kalau aku diam-diam menyukainya. Saat ia tau, saat itu pula ia mendekati seorang perempuan yang lebih sempurna ketimbang aku, seakan Rei mendeklarasikan kalau ia menolakku. Cara yang jahat.
                “Sudah kubilang, ada saatnya untuk menyerah. Menyerah itu saat semua usaha gagl dan tak ada kesempatan lagi” sekarang, nada suaranya melunak. Tapi, ia tak menjawab pertanyaanku.
                “Keita, usaha mu mungkin kurang untuk menaklukkan gadis seperti itu. Jangan mengangkat kedua tangan dengan mudah saat kau masih bisa berusaha. Ingat saat gadis itu menyenandungan lagu ulang tahun saat hari ulang tahunmu? Mungkin dia sebenarnya memang peduli. Aku tak tau, tapi aku hanya merasa seperti itu”
                Keita menyimpulkan senyum di wajahnya. Ia sering membuat senyum palsu karena keadaan, kalau senyum yang sekarang adalah palsu, ingin ku buang senyum yang ia lemparkan ke arahku. Aku tak butuh senyum palsu.
                “Ini bukan senyum palsu” seakan membaca pikiranku, ia mengatakan itu, “Dari ekspresi wajahmu, aku bisa tau itu”
                “Keita,” aku memanggilnya pelan, “Kalau itu memang cinta, genggamlah dan jangan pernah kamu lepaskan. Kalau akhirnya dia benar-benar mengabaikanmu dan tak pernah mau menoleh sedikit pun ke arahmu, itu saat yang tepat untuk menyerah. Tidak ada gunanya mempertahankan cinta yang terabaikan”
                “Bhuahaha siapa sangka orang kayak kamu yang sama sekali tak pernah bisa serius dan selalu menganggap enteng semua hal bisa mengatakan hal yang dramatis kayak gitu” apa ini artinya dia menertawakan kebodohanku? Lalu, kalau dipikir ulang, aku benar-benar malu karena sudah mengatakan hal aneh seperti itu.

                “Untuk temanku, apapun kulakukan untuk membantunya. Tapi, kalau dipikir ulang, aku tak membantumu sama sekali. aku merepotkanmu dan malah memberimu beban. Gomennasai Keita-san”

0 komentar:

Posting Komentar