“Hei, tolong katakan padaku”
Gadis itu terpejam membiarkan semilir angin
menerbangkan helain rambut panjangnya yang digerai. Jemarinya lembut menggapai
udara kosong. Ia menengadahkan kepala, merasakan angin yang perlahan mulai
berhenti.
“Tolong katakan padaku!”
Gadis itu mengulang kata-kata yang tadi ia ucapkan. Lebih
keras, lebih lantang. Di atas bukit dengan langit yang berwarna jingga ini,
hanya suaranya dan suara gemerisik daun-daun yang diterpa angin yang terdengar.
Saat ini, ia merasa kesepian.
Angin hanya berhembus tanpa memberikan jawaban
apa-apa. Gadis itu tau, angin tak akan pernah bisa memberikan jawaban untuknya,
juga tak bisa mendengarnya, tapi ia tetap bertanya pada ‘angin’
“Katamu, aku masih bisa tertawa jika tanpamu. Katamu,
aku masih bisa terus maju dengan banyak hal yang kupelajari. Tapi akhirnya, aku
hanya diam dan merutuki diri. Katakan padaku, angin, kenapa dia pergi?”
Angin kembali berhembus mengusik telinganya.
“Kamu pernah mengajariku tentang melihat dunia tidak hanya
dengan sebelah mata. Ketika aku memajamkan mata dan merasakan angin seperti
ini, bayangan tentang dirimu masih terus ada. Aku ingat tawamu, aku ingat
semuanya! Kamu
menyuruhku untuk melupakannya, tapi aku tak bisa!”
Berdiri di bukit ini dengan semilir angin yang
berhembus, membuat gadis itu merasakan nostalgia. Seperti menggunakan mesin waktu, gadis itu merasa kembali
ke masa lalu. Saat ia masih bisa tertawa dengan orang yang selalu ada di
sampingnya.
Angin mengingatkannya pada orang yang telah pergi.
Matahari perlahan mulai menghilang di balik bukit. Semburat
warna jingga nya perlahan hilang, lalu digantikan dengan warna kelabu yang
menghiasi langit. Bersamaan dengan itu, suara-suara binatang malam mulai sibuk
bersahutan. Bintang-bintang mulai muncul memenuhi gelapnya langit.
“Hei angin, ini pertanyaan terakhir. Kenapa dia
pergi?”
0 komentar:
Posting Komentar