Sekarang pukul satu lewat sedikit. Dunia begitu indah dan baik, seseorang pernah berkata begitu walaupun aku tidak ingat siapa atau kapan. Aku sedikit percaya sedikit tidak percaya. Aku ingin percaya tapi tidak ingin terlalu percaya. Jauh dalam diriku, rasa takut itu menguar seperti bau kematian. Tidak bisa disembunyikan.
Aku berjalan mondar-mandir di dapur. Dalam telingaku berdengung lagu asing. Di satu waktu, aku bertingkah seakan aku hilang ingatan dan bertanya, "kamu siapa?" pada bayanganku sendiri di cermin. Di satu waktu yang lain, aku menggambarkan adegan dalam kepala dimana aku menodongkan jari ke arah siapapun sambil bertanya, "siapa kamu?" Aku tersenyum karena merasa diri sendiri tidak waras, tapi aku tetap mondar-mandir sambil mendengarkan lagu entah apa.
Dini hari. Jam berdentang sekali, tanda sekarang pukul satu lewat tiga puluh pas. Adegan-adegan dalam kepalaku pecah, digantikan dengan pemandangan yang sebenarnya tampak. Dapur, hawa dingin, suara hewan malam, juga kesunyian yang mendadak hadir karena lagu itu habis. Aku tertegun, mencoba menerka sudah berapa lama aku 'hilang' dalam pikiranku sendiri. Tidak tahu. Aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya ingin kususun atau kucari dalam arus pikiran.
Aku mengambil gelas dan menuang air. Mendadak kebutuhan manusiawi itu muncul. Kadang aku terganggu dengan ini. Haus, lapar, lelah. Dalam kerumitan dan rasa hampa, tubuh ini tetap minta air, minta makan, minta tidur. Tapi jika tubuh ini tidak meminta, mungkin aku hanya akan menjadi seonggok daging busuk. Aku tersenyum, sedikit memberi pujian pada kinerja tubuhku, tapi mengutuk kinerja pikiranku diam-diam.
Berkaitan dengan kinerja pikiranku, aku punya hubungan yang sulit dijelaskan. Aku terkadang menyukai kinerjanya yang mampu 'melihat' hal yang tidak disadari orang lain. Terkadang aku memuji dan bersandar padanya seakan ia adalah penyelamatku yang handal. Terkadang aku membencinya karena seperti menggali terlalu dalam, terus membuat asumsi, analisis, hingga rasanya aku seperti dicekoki. Terkadang ia begitu tega menyingkirkan perasaanku bahkan tanpa sepengetahuanku!
Aku duduk di kursi rotan. Ada suara derit yang ringan ketika aku merebahkan badan. Ah, bersamaan dengan hilangnya pegal di punggungku, aku (atau pikiranku?) menanyakan pertanyaan yang entah ditujukan kepada siapa. Jika untukku, apakah aku harus mencari jawabannya—perlu tanda titik, bukan tanda tanya. Menyalahi aturan kepenulisan, tapi titik itu untuk membatasi aku agar tidak terlalu banyak bertanya.
Apa gunanya semua ini? Apa gunanya berpikir dan mengorek dunia? Semakin banyak hal yang diketahui, maka semakin banyak masalah yang disadari. Apa bagusnya punya pengetahuan jika ketidaktahuan adalah anugerah?
Ketidaktahuan adalah anugerah. Semakin sedikit yang diketahui, maka semakin bagus juga. Itulah mengapa senyum anak kecil terlihat begitu murni dan cerah. Mereka tidak mengetahui kebengisan dunia. Ketidaktahuan menyelamatkan mereka. Saat itu.
Aku mempelajari manusia. Aku mengamati dan menganalisis. Aku ingin menembak pikiranku sendiri dan membunuhnya. Aku ingin pikiranku kembali lahir tanpa membawa pengetahuan akan manusia yang sudah lama kupelajari dan segala analisis itu. Aku ingin menjelma menjadi ketidaktahuan.
Adegan-adegan bohongan itu muncul lagi dalam kepalaku. Aku menodong semua orang dengan pertanyaan, "siapa kamu?" Jika suatu hari itu terjadi, apakah aku bisa mempercayai perkataan entah siapa yang mengatakan bahwa dunia begitu indah dan baik?
Besok, akan kukatakan pada Charlie bahwa ia tidak harus menjadi pintar. Pintar adalah petaka. Lebih baik ia bekerja di toko roti dan mendapat sepotong dua potong roti tiap hari selama hidupnya.
0 komentar:
Posting Komentar