Dalam Buku Cokelat

Sekarang pukul dua belas lewat sedikit. Tadi aku sempat nulis beberapa paragraf lalu aku urung melanjutkannya menjadi tulisan utuh. Mungkin lebih tepatnya aku ragu apakah semua itu perlu ditulis untuk tujuan publikasi. Akan lebih baik jika semua itu disimpan untuk diri sendiri. Maka, begitulah, aku tidak melanjutkannya dan memilih menulis sesuatu yang lain. 

Aku teringat pernah punya buku tebal mirip kitab. Sampul hardcover warna cokelat dan memang isi lembarnya banyak. Buku yang berat. Dalam tiga tahun masa SMA, aku banyak menulis disana. Hal-hal yang saat itu terasa begitu aduhai nan puitis namun kini jika dibaca ulang malah justru membuatku meringis. Tapi justru itu membuatku sadar, bahwa ternyata aku pun melalui masa SMA dengan normal selayaknya anak seusiaku. 

Zaq punya beberapa puisi yang ada di buku itu. Ia membacakannya dengan nada tengil dan tertawa di ujung sana. Berkatnya, aku kembali mengingat keberadaan buku itu. Berkatnya lagi, aku menyumpal mulutnya dengan puisi akrostik bikinannya. Bukan hanya ia yang menyimpan salinan puisiku. Mari kita merinding bersama, menertawakan masa-masa SMA yang menggelitik itu. 

Oke, lalu sayangnya, buku itu raib. Lebih tepatnya aku tidak tahu aku memasukkan buku itu ke dalam box yang mana. Box biru? Atau hijau? Cokelat? Atau malah hanyut terkena banjir seperti kotak harta karunku? Aku tidak tahu. Aku harus membongkar satu persatu, mengangkat puluhan (bahkan menyentuh seratusan) buku, hanya untuk mencari satu buku. Kemarin aku sudah berniat untuk mencari, sayangnya ada agenda dadakan di rumah. 

Dalam percakapan dengan Zaq untuk menggali keberadaan buku itu, mendadak ia berkata, "tanya adikmu, dia kenal Tuan Teduh ngga?" kemudian dia cekikikan dan aku semakin meringis karena diingatkan dengan era puitis jaman sekolah. 

Aku melirik adikku yang duduk di sebelahku. Ia balas melirik, menatapku dengan tatapan 'mau apa kamu?' Aku nyengir begitu adikku mendengar Zaq, tertawa getir karena merasa seperti seseorang sedang menggali masa alay-ku. Adikku menjawab, "tau lah, orang dulu kamu nulis itu dimana-mana."

Zaq tertawa lepas. Tawa tengil yang terdengar menyebalkan. Bahkan ketika aku menulis ini, aku seakan bisa mendengar suara tertawanya lagi. Ia seakan lupa bahwa puisinya tak kalah aduhai.

Tapi, disamping puisi-puisi itu, sebenarnya ada satu tulisan yang sangat ingin kubaca di buku itu. Aku ingat pernah menulisnya tahun 2017, di perpustakaan daerah, beberapa saat setelah menulis surat berisi titah untuk Zaq agar menyampaikan ke Opung. 

Itu tulisan yang sangat panjang jika dibandingkan dengan puisi pendek lainnya. Aku menulis tentang ketakutanku. Aku takut dengan diriku dimasa depan. Sekarang tahun 2025, ingin rasanya aku berkata kepada diriku ditahun 2017, bahwa kita masih tertawa bersama Zaq. Walaupun sempat melalui tahun-tahun tanpa dirinya, kita kembali. 

Aku sudah jauh banyak berubah, begitu pula dengan Zaq. Tapi ia tetap memandangku sebagai pribadi yang sama. Ia juga masih Zaq yang sama, ditambah dengan tekadnya untuk berubah menjadi lebih baik dan ia berusaha keras untuk itu. 

0 komentar:

Posting Komentar