Aku tahu kalau keluargaku berisi orang-orang antik, terutama Ibu dan Bapak yang mempelopori ke-antik-an dari empat anggota keluarga lainnya. Walaupun tahu akan hal itu, kadang aku masih kagum sekaligus heran jika ada saja gebrakannya. Termasuk hari ini. Bahkan di hari lebaran pun, mereka tetap menjadi mereka.
Selepas sholat ied, rencananya kami mau foto bersama. Belum mulai, Bapak mendadak meninggalkan halaman, masuk rumah dengan tergesa. Saat keluar ke halaman lagi, beliau sudah mengganti baju kokonya dengan kaos oblong tanpa lengan lengkap dengan celana pendek.
Belum sempat bertanya, Bapak lebih dulu berseru, "SEBENTAR, AYAM-AYAM BAPAK PERLU MAKAN DULU."
Jadilah kami bengong menunggu sekaligus melihat Bapak sibuk memberi makan ayam-ayam kesayangannya. Beliau bersenandung ringan sambil melemparkan makanan ke arah ayam-ayam kate itu yang nampak pendek dan bundar karena kegemukan. Semenjak insiden 'Lavuan', Bapak jadi suka pelihara ayam.
Sebentar, apakah ini artinya ayam-ayam bundar itu lebih prioritas ketimbang foto bersama?
*****
Malamnya, ketika aku mau membuat kopi, aku mendapati Ibu duduk di kursi panjang yang ada di dapur. Beliau menonton sinetron entah apa sambil melipat baju. Lebih tepatnya cucian yang baru kering karena kemarin kelupaan dan kehujanan.
Setelah kopiku jadi, aku menggeser kursi dapur ke sebelah Ibu, memutuskan untuk membantu melipat baju sambil menunggu kopi agak dingin. Ibu tersenyum, kemudian mengeraskan volume sinetron. Ibu, aku mau bantu lipat baju, bukan mau ikut menonton sinetron sambil ngopi.
Aku mengambil kaos adek, membentangkannya, dan baru sadar bahwa jika adek mengenakan ini, maka ia sedikit lebih mirip dengan gelandangan. Ada lubang memanjang di bagian ketek, kanan kiri, dan di bagian bawah kerah baju.
"Ini apa?" Aku bertanya sambil menunjuk baju yang tampak mengenaskan.
"Baju. Katanya jangan dibuang, enak dipake karena adem."
Walaupun berkata begitu, Ibu mengambil baju itu dari tanganku. Kupikir beliau waswas jika aku akan segera melenyapkan baju penuh ventilasi itu. Tapi mendadak Ibu menyobeknya sedikit di tiap-tiap lubang sehingga lubang itu bertambah lebar.
"Biar enggak dipakai lagi hehe."
Hehe.
"Oh jadi ini trik Ibu biar adek nggak pakai baju bolong-bolong lagi?" Aku berkata sambil meraih gelas kopi di meja makan. Meminumnya perlahan karena memang masih panas.
Kupikir setelah sedikit merobeknya, Ibu akan menjadikan baju itu sebagai gombal (kain lap) dan mengatakan pada adek bahwa bajunya sudah tidak tertolong lagi. Tapi tebakanku salah. Ibu tetap melipat baju itu. Lihatlah, dalam lipatan yang rapi, ada lubang menganga di bagian kerah.
"Kok dilipat?"
"Ibu biasanya gini kalau udah gemes. Kalo ada yang pake pakaian bolong, tiap Ibu lipatin, Ibu sobek dikit biar bolongnya nambah. Dikit-dikit. Tapi tetep Ibu lipat." Ibu tersenyum seakan itu adalah cara yang paling gemilang untuk menghadapi manusia bebal dengan kaos bolongnya.
"OH JADI ALASAN BOLONGNYA MAKIN LEBAR TIAP KULIAT, ITU ULAH IBU?"
Ibu, sekali lagi, tersenyum.
0 komentar:
Posting Komentar