Aku tidak tahu kapan tepatnya aku terlahir. Tahu-tahu, aku sudah bisa melihat alam semesta dari tempatku. Aku melihat segalanya, menyimak semua kisah yang lahir dan mati, bahkan memahami gejolak perasaan dari sorot mata seseorang. Aku tahu segalanya kecuali diriku sendiri. Aku tidak pula bersuara, hanya bergerak dalam keteraturan, dan bisa jadi aku selamanya ada disini.
Badanku terombang-ambing dalam kegelapan dan kesendirian. Aku tidak merasa kesepian karena aku tidak memiliki sesuatu yang disebut manusia sebagai hati. Aku hanya makhluk cahaya. Walaupun begitu, aku memiliki daya tafsir hingga aku mampu memahami sesuatu yang hidup. Tidak dengan hati atau perasaan, tapi dengan rasionalitas dan analisis. Hidupku begitu panjang dan ada begitu banyak kisah, aku belajar setiap saat.
Hari ini bulan terlihat riang, aku tahu sebab ia memantulkan cahaya matahari dengan sepenuh-penuhnya. Ia tampak bercahaya terang. Mungkin karena musim hujan sudah berakhir, tidak ada lagi mendung, tidak ada lagi awan-awan yang menutupinya. Aku turut senang. Jika ia benderang, segalanya tampak jelas di mataku.
Malam ini aku melihat dua anak manusia. Mereka begitu muda dan sorot matanya adalah kejujuran. Anak manusia yang lebih tinggi itu meninggalkan alas kakinya, menapaki tangga, kemudian duduk di atas atap rumah. Memandangi langit. Ia berseru-seru dari atas, memanggil temannya. Dalam langkah ragu, satu anak manusia lagi datang menatap langit.
Anak manusia itu menunjuk ke arahku. Mata kami bertemu walaupun hanya aku yang merasakan itu, sebab manusia adalah wujud keterbatasan termasuk indranya. Temannya mengikuti arah telunjuknya, tapi tidak berhasil menemukanku karena aku tidak merasakan tatapannya. Anak manusia itu menghela napas, menurunkan telunjuknya karena pegal, menyerah berusaha menunjukkan aku pada temannya. Walaupun begitu, ia kembali melihatku.
Wajar jika temannya tidak menemukanku. Ada banyak makhluk cahaya dan aku hanya salah satunya. Setiap makhluk cahaya memiliki pendarnya sendiri. Jika kau jeli, maka kau akan menyadari bahwa masing-masing dari kami memiliki sinar yang berbeda. Sinarku tidak istimewa, tidak begitu benderang, mungil, dan memiliki sorot biru keemasan.
"Yakin kamu enggak lihat bintang biru agak emas itu?"
Aku mendengar anak manusia itu menjelaskan tentangku kepada temannya. Dari sini, aku melihat temannya menatap langit, kemudian menggeleng lagi. Ia tidak melihatku. Wajahnya nampak kesal.
"Semua bintang kelihatan sama saja, sama-sama kayak lampu. Kalau memang ada yang warnanya biru-biru emas, harusnya aku juga bisa lihat dong. Kan beda, Zaq."
Semua anak manusia yang terlahir selalu memiliki nama. Anak manusia yang menemukanku ternyata bernama Zaq. Berbeda dengan manusia, kelahiran makhluk cahaya tidak pernah istimewa hingga dianugerahi sebuah nama dan doa-doa panjang. Kami hanya lahir, hidup, kemudian mati tanpa diingat. Itu adalah kutukan yang mengiringi berkah cahaya, umur panjang, dan pengetahuan menyimak segala kisah yang hidup dan mati.
Zaq menatapku lagi. Sorot mata anak kecil adalah sebuah kejujuran. Dalam matanya yang jernih, aku menemukan pantulanku sendiri. Begini lah cara makhluk cahaya melihat dirinya, melalui mata anak manusia. Sudah sejak lama dari terakhir kali aku melihat pantulanku sendiri. Ternyata sinarku sudah tidak seterang dulu.
"Oke, jadi kesimpulannya kamu enggak bisa lihat. Aku bisa. Kalau gitu bisa dibilang ini bintangku. Karena warnanya mirip bunga mamung, jadi namanya Ami."
Ami.
Seorang anak manusia memberiku nama. Suaranya menggema di tiap sisi-sisi malam. Segala yang hidup dalam naungan bulan dapat mendengarnya. Angin melewati anak manusia itu, membawa kabar bahwa satu makhluk cahaya memiliki nama.
Namaku Ami.
0 komentar:
Posting Komentar