Hidup itu Pilihan

Waktu lebaran kemarin, keluargaku sempat mampir ke rumah teman lama Bapak, namanya Pakde Gi. Pakde Gi berperawakan tidak terlalu tinggi, tergolong kurus, dan memiliki wajah tentram seperti kebanyakan orang berumur. Saat kami tiba, beliau sedang ada di teras rumah, mengenakan peci dan sarung, sedang sibuk menjamu tamu. 

Melihat kami tiba, Pakde Gi memicingkan matanya, menerka siapa yang datang. Begitu beliau mengenali kami, beliau tertawa, menampilkan deretan gigi yang rapi, lantas mempersilakan kami untuk masuk. Aku samar-samar ingat kapan terakhir kali berkunjung kemari, sepertinya memang sudah bertahun-tahun yang lalu. 

Pakde Gi banyak mengobrol dengan Bapak, membicarakan masa lalu, bagaimana mereka bisa akrab, dan pertemanan mereka. Aku duduk di kursi seberang mereka, bersama Ibu dan Budhe Gi. Aku diam saja karena memang tidak ada yang perlu aku katakan selain menyimak obrolan yang ada. Budhe Gi sesekali menawariku jeruk kecil-kecil. 

"Kuliah dimana sekarang?" Budhe Gi bertanya padaku, dengan volume suara yang rendah dan wajah tersenyum.

Aku mengambil jeruk yang sejak tadi terus ditawarkan padaku, "saya kuliah di ISI, Budhe."

Beliau tampak kaget dengan jawabanku, beberapa detik kemudian, Budhe Gi tersenyum lebar dengan mata yang tampak antusias, "Lho, kamu ambil di ISI to. Ikut-ikut siapa kok bisa ambil di ISI? Keluarga ada yang di seni? Atau memang keinginanmu sendiri?"

"Iya, Budhe, keinginan saya sendiri."

"Wah, keren, lho. Anak seni. Ambil jurusan apa di ISI?"

Aku tersenyum kikuk, lalu menjawab, "DKV. Desain Komunikasi Visual."

Budhe Gi melihatku sambil tersenyum dan mata yang berbinar antusias. Terkadang, ada beberapa orang yang memuji bukan karena betulan kagum atau menganggap itu indah, hanya memuji saja, tanpa tahu dimana letak keindahannya. Namun, Budhe Gi tidak begitu. Aku hanya menemukan ketulusan dalam mata beliau.

"Pak, ternyata ini jurusan seni, lho. Keren ya." Budhe Gi menepuk lenganku sambil berbincang dengan Pakde Gi. Pakde Gi ternyata merespon mirip seperti Budhe Gi. Ah, pasangan tua ini mudah sekali menciptakan suasana yang hangat dan menyenangkan.

Pakde Gi lalu berbincang dengan Bapak Ibu mengenaiku, bagaimana aku akhirnya ada di ISI, kesukaanku akan menggambar, dan usaha-usahaku. Sebenarnya Pakde Gi bertanya padaku, namun, Bapak Ibu sudah paham kalau aku tidak banyak bicara, jadi mereka menggantikanku untuk menjawab pertanyaan Pakde Gi.

"Di perkuliahan itu, sebenarnya ndak ada yang pintar dan bodoh. Adanya rajin dan males. Kalau pintar tapi males ya nanti selesainya bakal lama. Kalau ndak begitu pinter tapi rajin, justru bisa cepet selesai."

Maka, dimulaih wejangan panjang Pakde Gi untukku.

"Hidup itu pilihan. Allah memberi kita kebebasan buat milih. Kalau kamu mau sukses, ya berarti lewat jalan yang ini, begini tahap-tahapnya, apa saja yang harus dilewati. Kalau kamu mau gagal, ya lewat jalan yang itu. 

Hidup itu pilihan. Kalau mau masuk surga, ya berarti jalannya yang ini, sholatnya rajin, berdoa. Kalau mau masuk neraka, ya udah tau to jalannya yang mana, sholat ndak karuan. 

Apapun itu, sebenarnya pilihan kita sendiri. Mau kita gagal atau sukses, semuanya pilihan kita sendiri. Ndak bisa kamu nyalahin orang lain atau orang tua, karena pada awalnya kamu sendiri yang milih jalan itu dan milih buat menjalaninya. Apapun yang ada di ujung jalan yang kamu pilih, semuanya tergantung kamu. 

Kita sendiri itu sudah tau sebenernya, kalau ngejalani ini ini ini nanti jadinya apa. Kalau mau seneng ya ambil hal-hal yang ini, jalannya kesini. Kalau mau sedih ya ambil jalan yang itu, langkah-langkahnya itu.

Hidup itu pilihan. Pilihanmu sendiri."

0 komentar:

Posting Komentar