Sawah, Sungai, dan Sepatu Tanah

Bisa dibilang, aku ini anak desa. Bukan, bukan yang terlalu desa sampai-sampai aku harus pergi ke kota untuk mendapatkan satu garis sinyal. Kotaku adalah kota kecil, kota kabupaten, yang sebagian besar wilayahnya adalah sawah. Bahkan, di belakang rumahku, setelah kebon dengan banyak ilalang raksasa, ada sawah yang membentang. 

Tidak hanya belakang rumah, belakang SD-ku juga sawah. Kadang, saat jam istirahat, beberapa anak laki-laki akan iseng memanjat tembok pembatas, duduk di atas sana sambil memandang hamparan sawah. Aku sebenarnya sangat ingin mencoba melakukannya juga, namun sayangnya, aku pakai rok. 

Jarak antara rumah dan SD-ku tidak terlalu jauh. Sangat bisa ditempuh dengan jalan kaki, tapi aku memilih untuk naik sepeda. Saat itu, rasanya seru sekali kalau bisa pulang sekolah bersama teman-teman sambil naik sepeda. Seru, karena kami biasanya tidak langsung pulang, tapi jalan-jalan dulu entah kemana.

Tapi, sepedaku tidak terparkir di parkiran sekolah. Aku selalu memarkir sepedaku di rumah Eyang, yang jaraknya sangaaat dekat dengan SD. Setiap berangkat sekolah, aku akan ke tempat Eyang, menitipkan sepeda, bermain dengan kucing Eyang, lalu berpamitan untuk sekolah. Sepupu-ku, yang satu SD dan sekelas denganku, juga melakukan hal yang sama. 

Tiap pulang sekolah, aku selalu pulang bersama La, sepupu perempuanku yang tinggi dan manis. Kami tidak mengambil rute jalan yang biasanya orang-orang tempuh, kami pulang lewat sawah. Lebih dekat, tidak ramai, seru, dan kadang ada sapi-sapi peliharaan Mbah Ru yang nongkrong. 

Jadi begini, biar aku petakan. Keluar dari gerbang SD, jangan lurus! Tapi belok saja ke jalan kecil di kiri. Jalan kecil itu akan mengarah langsung ke sawah-sawah. Kami tidak melewati pematang-pematang sawah, ada jalan kecil di tepi sawah, kami lewat sana. Lalu, jalan sedikit, akan ada rumah milik Mbah Ru, yang kadang sapi-sapinya dibiarkan nongkrong di samping rumahnya sambil minum air. Kadang-kadang kami mampir, memberi makan sapi (atau kambing), ngobrol-ngobrol, lalu telat pulang, hehe. 

Lanjut, karena perjalanan belum selesai. Di depan rumah Mbah Ru, ada sungai dan jembatan bambu. Aku dan La sangat pro dalam naik jembatan bambu. Bahkan kami bisa berlari ketika melewatinya. Jembatan bambu itu akan mengantar kami ke sisi seberang, rumah Eyang. Di belakang rumah Eyang, ada sumur. Aku dan La kadang sangat malas masuk lewat pintu depan, karena kami harus jalan memutar. Kadang kami akan menggedor-gedor pintu belakang, dapur, dengan keras agar dibukakan oleh Eyang Ti (Uti) Tapi tentu saja, lebih banyak tidak dibukakan dan kadang kena tegur karena kami berisik sekali.

Kalau lagi masa penghujan, tanah daerah sawah akan sedikit becek. Kadang kami nekat lewat sawah dan sepatu kami akan berakhir menjadi sepatu tanah. Rasanya berat dipakai berjalan, haha. Psst, kalau Eyang tahu, beliau pasti akan mengomeli kami. Tapi, Eyang selalu tahu, apalagi jika Eyang Kakung sedang duduk di teras sambil membaca koran. Duh.

Masa kecilku sangat menyenangkan. Kalau diingat kembali, sebagian dari hatiku menjadi hangat. Aku menyukai semua hal yang ada didalam masa kecilku. Memang tidak semuanya berisi hal-hal baik, tapi aku bersyukur dan tidak menyesali apapun.

0 komentar:

Posting Komentar