Ini bukan tulisan mengenai postingan sebelumnya, walaupun ini juga akan berisi pertanyaan. Haha. Manusia memang makhluk penuh ketidak-tahuan, walaupun terkadang merasa maha-tahu dengan segala persepsinya. Selain mulut, sebenarnya ada lagi yang berbahaya dari manusia: pikiran mereka sendiri.
Ketika aku mulai menulis ini, jam sudah menunjuk pukul empat empat puluh sembilan menit. Aku belum tidur. Aku tadinya memutuskan untuk tidur setelah subuh, tapi ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang mengganjal itu harus dikeluarkan atau aku bisa gila. Aku menulis bukan karena mau mencari atensi, aku menulis karena aku ingin terus waras saja. Lagipula, blog ini berkali-kali hampir mati, apalagi keberadaanku di media sosial sekarang mendekati mati, jadi, buat apa mencari perhatian di blog sepi hampir mati ini? Tidak ada gunanya.
Dulu, guru agamaku, Bu Arimami, pernah bilang kalau kelak aku bisa menjadi penulis yang hebat. Beliau berkata begitu setelah tamat membaca cerpen tiga lembar milikku berjudul "Obituari Merah" Cerpen itu sudah hilang bersamaan dengan harddisk laptop sebelumnya yang rusak. Aku sudah lupa seperti apa detail cerita dalam cerpen itu, tapi, perkataan beliau sangat melekat hingga sekarang. Bagaimana ekspresi beliau, intonasi suara, bahkan beliau rasanya percaya jika aku bisa melakukannya. Bu Arimami mempercayai hal yang sangat sulit aku percayai.
Tahun terakhir di SMA, beliau mengikutkanku lomba menulis cerpen. Aku mengikutinya dengan cerpen lima lembar berjudul "Nun". Tema lomba adalah tentang Indonesia. "Nun" bercerita mengenai Sampit, ditulis dengan gaya bahasa yang mendekati bagaimana aku menulis puisi, dan sedikit-banyak berbicara soal "masyarakat".
Bukannya mendapat juara, cerpenku justru dipertanyakan oleh juri. Apakah mungkin seorang siswa SMA menulis cerpen dengan tingkatan seperti ini? Bukankah ini mustahil jika ditulis oleh siswa SMA? Gaya bahasanya tidak seperti anak SMA. Hampir didiskualifikasi karena mereka kira itu bukan karya orisinal milikku, Bu Arimami memberikan penjelasan kepada mereka. Ketika pengumuman juara, "Nun" ada di posisi pertama. Juara satu.
Menulis adalah skill yang aku asah. Aku tidak tahu apakah aku punya bakat alami tentang ini atau tidak, yang jelas, selama ini yang ku lakukan hanya menulis. Menulis. Menulis. Bercerita tentang apa saja, menulis kisah-kisah yang hanya hidup di kepalaku, jembatanku dengan orang lain agar mereka lebih mudah memahamiku, dan media penyelamat bagi jiwaku yang berkali-kali hampir mati.
Aku dulu tidak pandai merangkai kata. Ketika SMP, aku mengikuti lomba cerpen untuk pertama kalinya dan kalah, karena saat itu aku tidak tahu-menahu soal menulis atau bagaimana bercerita melalui rangkaian kata yang rapi. Bukannya berhenti saat dihadapkan dengan kekalahan, aku justru semakin merengsek maju, hingga akhirnya aku bisa menang juara satu lomba cerpen ditahun ketiga SMP. Untuk pertama kalinya, cerpenku mendapat juara. Cerpen itu berjudul "Surat untuk Mei" yang bercerita mengenai Suku Toraja.
Sekarang, orang-orang melihatku sebagai seseorang dengan bakat menulis dan mereka menyebutnya sebagai kelebihanku. Menulis adalah kelebihanku.
Sayangnya, dibalik kemampuanku menulis, terdapat aku yang kesulitan mengutaran menggunakan lisan. Seseorang yang mudah sekali menulis panjang lebar ini, rupanya hanya seseorang yang kesulitan mengutarakan isi hati dan pikirannya melalui mulut.
Awalnya aku tidak mempermasalahkan hal itu, karena selama ini aku beberapa kali menyelesaikan kesalah pahaman dengan orang lain melelaui jembatan tulisan. Aku menulis, menjelaskan, mereka membacanya. Apalagi, setiap kali aku menulis, beban dalam diriku hampir terangkat sepenuhnya. Dulu, aku merasa bahwa menulis adalah penyelamat paling jitu untuk manusia yang kesulitan jika menjelaskan pakai mulut. Seperti aku.
Tapi, semakin aku bertambah tua, semakin aku lihat banyak sekali orang-orang yang tidak bisa memahami "suara" ku. Suaraku adalah kata-kata yang tertulis dan mereka kebanyakan gagal mendengarnya.
Bahasa yang paling mudah dipahami oleh manusia adalah "berbicara melalui mulut" dan aku adalah bentuk kerumitan yang sukar dipahami.
Kenapa orang mudah salah paham denganku? Sekarang pertanyaan itu sudah terjawab: karena aku lebih banyak diam. Diamku ditafsirkan menjadi banyak sekali arti, oleh orang-orang yang merasa mereka mampu memahamiku. Padahal, belum tentu pemahaman mereka itu benar. Sedangkan aku, tahu jika mereka salah paham, aku malah mencoba meluruskannya melalui tulisan.
Aku menyodorkan tulisan kepada orang yang tidak mau membacanya. Aku menyuarakan "suara" pada orang yang menutup rapat "telinga"nya.
Ini memang kesalahanku juga, karena ketidak mampuanku untuk menjelaskan melalui lisan. Aku tahu bahwa aku harus membiasakan diri untuk menggunakan mulutku ini. Sampai detik ini, aku selalu berusaha. Walaupun kadang, jika seseorang berkata "kalau ada yang mau kamu katakan, katakan sekarang mumpug lagi bicara" aku sedikit gelagapan dan rasanya udara menjadi berat, aku tetap mencoba menjelaskan.
Jika ada orang yang berkata bahwa ia mencoba memahamiku, tapi ia sama sekali tidak membaca atau melihat karyaku secara mendalam, aku anggap orang itu sedang mengatakan kebohongan. Omongannya hanya berisi angin, tapi biasanya orang sepertinya malah memintaku untuk mempercayainya. Percaya dan menghargai dengan besar atas usahanya yang berusaha memahamiku, dan berterimakasih atas itu.
Kalau memang ingin memahamiku dengan baik, bacalah tulisan-tulisanku, menyelamlah dengan jauh ke dalam ilustrasi-ilustrasiku. Tulisan dan gambarku adalah bentuk kejujuran yang paling jujur, sebab aku menjadi diriku sendiri yang apa adanya di dalam itu. Aku bebas menjadi diriku dalam karyaku.
Jika mulutku hanya mengatakan beberapa patah kata, tulisanku akan menjelaskannya lebih dalam. Yang kau lihat dari luarku, yang kau dengar dari mulutku, bisa saja itu hanya lapisan luarnya saja. Yang terdalam, lapisan paling dalam, kau tidak bisa begitu saja menyimpulkannya melalui lapisan luar.
Tapi, sayangnya, orang-orang lebih sering menyimpulkan seperti apa aku hanya berbekal lapisan luarku saja. Itu yang membuat orang mudah salah paham denganku.
Satu-satunya orang yang berhasil memahamiku dengan benar hanya Ibu. Diamku, kata-kataku, tingkahku, kesibukanku, dan segala rupa tentang diriku.
0 komentar:
Posting Komentar