Kalau
naik kereta, ada aja kejadian yang terjadi. Entah itu suatu kebaikan, lucu,
sedih, atau memalukan. Iya, memalukan bagi diri sendiri. Tapi entah kenapa, aku
tetap memilih naik kereta daripada mengandalkan diantar. Lagipula, cuma
Semarang kok. Dekat.
Yang ini
entah kejadian memalukan atau tidak. Karena aku sendiri juga tertawa.
Setelah
aku membeli tiket pulang, aku langsung memasukkannya ke dalam saku depan tas. Hari
setelahnya, ketika aku mau mengambil tiket untuk dipindah ke tempat yang lebih
aman, aku lihat ada bekas seperti minyak yang menempel. Padahal aku sama sekali
tidak memasukkan makanan ke dalam saku tas loh. Bekas minyak itu menempel di beberapa
tempat, termasuk nomor tempat dudukku. Tapi, tulisannya masih terbaca jelas.
Aku memasukkan
tiket ke dalam dompet, masih dalam keadaan tiket terlipat. Baru saat aku mau
pulang, aku lihat lagi tiket itu. Aku kaget. Tulisan nomor tempat duduknya
hilang. Padahal sebelumnya masih terbaca jelas sekali. Entah kenapa bisa
begini.
Aku tidak
panik, lebih merasa kebingungan. Aku tanya ke mbakku.
“Mbak,
coba liat tiketku. Kalo kayak gini aku boleh naik kereta nggak ya?”
Mbak
mengambil tiketku, melihatnya, lalu tertawa. Di saat aku kebingungan, dia
tertawa keras sekali, “Orang kayak kamu ternyata bisa bego juga ya. Ini kenapa
bisa ilang? Pas banget di nomer tempat duduk pula.”
Aku manyun.
Mana aku tahu. Tahu-tahu ketika keluar dari dompet, bentuknya sudah begitu. Untungnya,
aku masih mengingat nomor tempat dudukku.
Memang
dari lahir mungkin aku anak yang kelewat santai. Aku tetap membawa tiket itu,
memperlihatkannya pada petugas yang mengecek tiket beserta ktp di pintu
keberangkatan. Petugas itu melihat tiketku, tertawa sambil geleng-geleng
kepala.
“Dek, tiketmu
kok jadi bagus. Masih inget nomor duduknya?”
Aku mengangguk
sambil ikut tertawa. Tawa takut-takut kalau tidak boleh naik kereta. Tapi untungnya,
aku boleh naik.
Gerbong
1 seat nomor 2C. Aku ingat dan aku tidak uzur. Oke. Setelah duduk, aku langsung
memutuskan untuk tidur, padahal kereta masih belum berangkat. Ini ku lakukan
agar tidak ada orang yang bertanya padaku, ‘bener duduknya disini?’
Sebelum
aku tidur, aku lihat beberapa petugas pengecek tiket yang mau pulang. Mereka naik
di gerbong kereta yang sama denganku. Ketika salah satu dari mereka berjalan ke
tempat dudukku—mau duduk di sebelahku—aku kembali memejamkan mata.
Dia berbicara
agak dekat dengan telingaku, “Dek, kamu dapet tempat duduk?”
Mampus.
Tidak mungkin kan aku menunjukkan tiketku sambil bilang, ‘iya dapet, mas, ini
buktinya’
Entahlah
kenapa saat itu aku yang memejamkan mata dan agak pura-pura tidur memilih
menjawab pertanyaannya. Kebodohan. Aku kan sedang pura-pura tidur. Duh.
“Dapet,
Mas.”
Setelah
itu tidak ada yang terjadi. Ia sibuk memonopoli tempat duduk dengan
menyilangkan kakinya, aku sibuk tidur. Baru ketika petugas pengecekan tiket
masuk ke dalam gerbong, aku baru sedikit was-was. Tapi was-wasku hanya sebatas,
‘bagaimana kalau aku disuruh no seat?’
Ketika sampai,
petugas itu ngobrol sebentar dengan yang duduk di sebelahku. Oh mereka kenal. Petugas
itu meminta tiketku, dan aku memberikannya dengan nyengir.
Petugas
itu meneliti tiketku, lalu tertawa. Orang yang duduk di sebelahku ikut melihat,
ikut tertawa juga. Gara-gara tiket ini, aku sukses membikin malu diriku sendiri.
Tapi, toh mereka tidak akan ingat aku lagi hehe. Jadi biarlah.
“Loh
ini kok tiketnya bisa gini, Dek?”
“Eh
nggak tau juga ya, Pak. Pas keluar dari dompet udah jadi gitu.”
“Aneh
ya kamu.”
Aku ikut
saja tertawa, padahal di dalam hati sudah was was. Untungnya, ia tidak
menyuruhku no seat.
Saat kereta
sudah sampai di stasiun tempatku turun, ternyata petugas yang duduk di
sebelahku juga turun di stasiun yang sama. Sebelum benar-benar turun dari kereta,
ia melihatku, lalu tertawa lagi.
“Lain
kali tiketnya dijaga ya.”
Hehehe.
Iya.
0 komentar:
Posting Komentar