Balada Naik Kereta (1)


                Kalau naik kereta, ada aja kejadian yang terjadi. Entah itu suatu kebaikan, lucu, sedih, atau memalukan. Iya, memalukan bagi diri sendiri. Tapi entah kenapa, aku tetap memilih naik kereta daripada mengandalkan diantar. Lagipula, cuma Semarang kok. Dekat.
                Yang ini entah kejadian memalukan atau tidak. Karena aku sendiri juga tertawa.
                Setelah aku membeli tiket pulang, aku langsung memasukkannya ke dalam saku depan tas. Hari setelahnya, ketika aku mau mengambil tiket untuk dipindah ke tempat yang lebih aman, aku lihat ada bekas seperti minyak yang menempel. Padahal aku sama sekali tidak memasukkan makanan ke dalam saku tas loh. Bekas minyak itu menempel di beberapa tempat, termasuk nomor tempat dudukku. Tapi, tulisannya masih terbaca jelas.
                Aku memasukkan tiket ke dalam dompet, masih dalam keadaan tiket terlipat. Baru saat aku mau pulang, aku lihat lagi tiket itu. Aku kaget. Tulisan nomor tempat duduknya hilang. Padahal sebelumnya masih terbaca jelas sekali. Entah kenapa bisa begini.
                Aku tidak panik, lebih merasa kebingungan. Aku tanya ke mbakku.
                “Mbak, coba liat tiketku. Kalo kayak gini aku boleh naik kereta nggak ya?”
                Mbak mengambil tiketku, melihatnya, lalu tertawa. Di saat aku kebingungan, dia tertawa keras sekali, “Orang kayak kamu ternyata bisa bego juga ya. Ini kenapa bisa ilang? Pas banget di nomer tempat duduk pula.”
                Aku manyun. Mana aku tahu. Tahu-tahu ketika keluar dari dompet, bentuknya sudah begitu. Untungnya, aku masih mengingat nomor tempat dudukku.
                Memang dari lahir mungkin aku anak yang kelewat santai. Aku tetap membawa tiket itu, memperlihatkannya pada petugas yang mengecek tiket beserta ktp di pintu keberangkatan. Petugas itu melihat tiketku, tertawa sambil geleng-geleng kepala.
                “Dek, tiketmu kok jadi bagus. Masih inget nomor duduknya?”
                Aku mengangguk sambil ikut tertawa. Tawa takut-takut kalau tidak boleh naik kereta. Tapi untungnya, aku boleh naik.
                Gerbong 1 seat nomor 2C. Aku ingat dan aku tidak uzur. Oke. Setelah duduk, aku langsung memutuskan untuk tidur, padahal kereta masih belum berangkat. Ini ku lakukan agar tidak ada orang yang bertanya padaku, ‘bener duduknya disini?’
                Sebelum aku tidur, aku lihat beberapa petugas pengecek tiket yang mau pulang. Mereka naik di gerbong kereta yang sama denganku. Ketika salah satu dari mereka berjalan ke tempat dudukku—mau duduk di sebelahku—aku kembali memejamkan mata.
                Dia berbicara agak dekat dengan telingaku, “Dek, kamu dapet tempat duduk?”
                Mampus. Tidak mungkin kan aku menunjukkan tiketku sambil bilang, ‘iya dapet, mas, ini buktinya’
                Entahlah kenapa saat itu aku yang memejamkan mata dan agak pura-pura tidur memilih menjawab pertanyaannya. Kebodohan. Aku kan sedang pura-pura tidur. Duh.
                “Dapet, Mas.”
                Setelah itu tidak ada yang terjadi. Ia sibuk memonopoli tempat duduk dengan menyilangkan kakinya, aku sibuk tidur. Baru ketika petugas pengecekan tiket masuk ke dalam gerbong, aku baru sedikit was-was. Tapi was-wasku hanya sebatas, ‘bagaimana kalau aku disuruh no seat?’
                Ketika sampai, petugas itu ngobrol sebentar dengan yang duduk di sebelahku. Oh mereka kenal. Petugas itu meminta tiketku, dan aku memberikannya dengan nyengir.
                Petugas itu meneliti tiketku, lalu tertawa. Orang yang duduk di sebelahku ikut melihat, ikut tertawa juga. Gara-gara tiket ini, aku sukses membikin malu diriku sendiri. Tapi, toh mereka tidak akan ingat aku lagi hehe. Jadi biarlah.
                “Loh ini kok tiketnya bisa gini, Dek?”
                “Eh nggak tau juga ya, Pak. Pas keluar dari dompet udah jadi gitu.”
                “Aneh ya kamu.”
                Aku ikut saja tertawa, padahal di dalam hati sudah was was. Untungnya, ia tidak menyuruhku no seat.
                Saat kereta sudah sampai di stasiun tempatku turun, ternyata petugas yang duduk di sebelahku juga turun di stasiun yang sama. Sebelum benar-benar turun dari kereta, ia melihatku, lalu tertawa lagi.
                “Lain kali tiketnya dijaga ya.”
                Hehehe. Iya.

0 komentar:

Posting Komentar