Nadi
tidak butuh apapun. Cukuplah hanya ia dan Bapaknya di rumah apak ini. Nadi
bahkan tidak mengharapkan Ibu yang kemarin keluar lagi dengan dandanan menor
lengkap dengan kerlingan mata. Nadi sungguh tidak ingin apapun.
“Bapak,
kenapa Ibu hanya cantik saat malam?”
Bapaknya
yang sedang membetulkan engsel pintu yang lepas, terperangah. Bagaimana pula ia
menjawab pertanyaan anaknya itu? Ia mainkan obeng di tangan, bingung. Ia sadar
betul cepat atau lambat semuanya akan terbongkar.
“Ibu
kerja, Nadi.”
Sebuah
senyuman muncul dari bibir keringnya. Ibu bekerja. Bukankah Ibu cantik sekali
hanya untuk bekerja? Kenapa Ibu tidak pernah terlihat cantik saat siang hari,
dihadapan Nadi dan Bapak? Ah, andai daster lusuh itu tidak terus-terusan
melekat pada siang hari. Pasti akan menyenangkan sekali.
“Masuk,
Nadi. Matahari semakin tinggi. Lebih tinggi dari pohon besar yang menaungi
halaman depan rumah. Kau paham maksudnya? Harusnya kau segera bersiap.”
Nadi
mengeluh. Lagi-lagi.
Gadis
kecil itu melangkah masuk. Tidak terbesit rasa curiga apapun saat Bapak
menyuruhnya tetap berada di dalam rumah. Berdiam. Dari dulu selalu begitu.
Bahkan ketika Bapak menyuruh menutup seluruh kerai jendela sekalipun, Nadi
tetap menurut.
Tapi
Ibu belum pulang. Bukankah pukul 6 pagi, Ibu sudah bergelung di bawah selimut?
Asyik menikmati mimpi dengan balutan daster lusuh yang dibeli murah di pasar
malam. Dimana Ibu?
******
Aku
tidak butuh apapun. Cukuplah dengan ini. Memang, aku bisa dapat jika aku
meminta? Makanya, lebih baik merasa cukup daripada kecewa tidak mendapat apa
yang di inginkan. Sederhana sekali.
Aku
tidak butuh apapun. Karena toh sejak awal aku tidak punya apa-apa. Aku hanya
punya kasih sayang Bapak. Dongeng-dongeng semalam suntuk semuanya berasal dari
mulut Bapak. Aku suka cara Bapak bercerita. Seakan-akan cerita itu memang
nyata. Pernah terjadi beberapa tahun silam.
Kalau
malam, aku seakan tidak punya Ibu. Setidaknya ketika siang hari saat Ibu
bergelung di bawah selimutnya, aku bisa menemaninya. Begitulah cara agar kami
tetap merasa dekat walaupun jarang terdapat percakapan.
Namun,
aku punya Zaq. Dia temanku semenjak keluargaku pindah di pinggiran kota yang
penuh pohon-pohon besar. Menjelang subuh, atau mendekati petang, ia akan
singgah sebentar. Bapak dan Ibu kolot sekali tidak membiarkannya masuk.
Jadilah, ia duduk di ambang jendela kamarku. Acapkali ia duduk pada dahan pohon
kenari yang tumbuh subur tepat di sebelah kamarku.
Zaq
yang mengajarkan agar tidak meminta apapun. Makanya, aku tidak merengek meminta
kasih sayang berlebih, makanan tersedia setiap saat, serta kepuasaan hidup
lainya. Asal bersyukur, segalanya akan nampak lebih.
Wawasan
miliknya luas sekali karena ia sudah mengelilingi hampir separuh dunia.
Katanya, dunia tidak lagi bisa menerima keberadaan kita. Aku menemukan jawaban
atas pertanyaan yang pernah ku tanyakan pada Bapak, ‘kenapa kita terasing?’
Namun,
Zaq pernah menanyakan hal yang membingungkan. Bagaimana jika suatu hari, langit
berbalik mendukung kita? Apa yang akan terjadi jika kita benar-benar hilang
dari muka bumi, tak berbekas?
Aku
ingat, suatu hari, akhirnya ia menyerah juga. Katanya, aku sudah menjelajahi hampir separuh dunia, bertemu banyak orang, dan
mengenal betul langit malam penuh bintang. Namun, diantara banyaknya manusia
dan gemerlap bintang-gemintang, aku tetap tidak bisa menemukannya. Nadi, kenapa
aku menerka apa yang tidak ada?
*****
Ibu
belum pulang. Padahal siang sudah hampir mati. Waktu merambat menuju sore.
Lambat. Aneh sekali, bukan? Saat kita menunggu sesuatu, jarum jam seakan tidak
mau beranjak sekedar melepas pegal. Sebaliknya, saat kita sedang bahagia, jarum
jam berlari sekuat tenaga. Takut jarum panjang lebih dulu mencapai garis finish
yang entah di mana batasnya.
Bapak
sibuk menyalakan cerutu, menghela napas khawatir kemana istrinya pergi. Dalam
sejarah, tidak pernah istrinya pulang melebihi pukul 6 pagi. Apa yang sedang
terjadi di sana? Di balik rerimbun pohon besar berusia ratusan tahun.
Kamar
berukuran kecil itu remang. Kerai jendela tertutup rapi. Rumah ini tidak
seutuhnya sepi. Sekali-dua kali, suara langkah kaki Bapak beradu dengan lantai
kayu yang sudah dipoles halus itu.
Asap
cerutu membumbung, menguar, lalu hilang. Sama seperti pertanyaan milik Bapak.
Kemana? Apa yang sedang terjadi? Pertanyaannya membumbung memenuhi benak.
Bedanya, tak lekas hilang.
Sebaliknya,
Nadi, tidak ambil pusing kemana Ibunya pergi. Nadi tidak butuh apapun. Ia tidak
punya waktu untuk memikirkan kemana sang Ibu. Ia sibuk menunggu petang. Ah,
bukan. Nadi sibuk menunggu Zaq. Ada cerita apa hari ini?
Bapak
resah. Nadi resah. Sama-sama menunggu. Tak pasti. Tanpa ujung sampai bertemu.
******
Pinggiran
kota yang penuh pohon tua itu memang selalu mati. Tidak ada yang tertarik pergi
kesana. Lebih mirip hutan. Namun, kota itu sendiri tidak pernah mati. Selalu
ada hingar-bingar disana sini.
Siang
itu, di tengah kota, seoarang wanita paruh baya terduduk lemas di gang sempit.
Napasnya memburu, detak jantungnya tak terkendali. Riasan pada wajahnya sudah
luntur, menyisakan bekas yang membuat penampilannya semakin berantakan. Rambut
ikalnya yang sebelumnya disanggul indah, sekarang menjuntai bebas menuruni
pundaknya.
Ia
terkungkung. Terjebak.
Di
sekelilingnya, laki-laki berbadan tegap dengan setelan seragam yang gagah sudah
mengepungnya. Tidak ada pistol yang tertodong pada dahi perempuan itu. Namun,
ada hal yang lebih menakutkan daripada pistol, yang sanggup membuat dirinya
menciut. Pertanyaan-pertanyaan itu.
Wanita
paruh baya itu mendongak, terdiam. Mulutnya tetap terkunci rapat sejak tadi.
Tatapannya seakan mengatakan, ‘ayo, paksa aku sekeras yang kalian bisa. Toh aku
tetap tidak akan buka mulut.’
Ia
pikir, jika bungkam, pasti laki-laki berseragam itu akan pergi. Namun, pikiran
itu ada hanya untuk menenangkan hatinya saja. Tidak terbukti akan terjadi.
Buktinya, sekarang, laki-laki berseragam itu dengan kasar menarik tangannya
agar bangkit. Perempuan itu memberontak, memukul tas jinjingnya sekeras mungkin
pada wajah mereka. Percuma. Satu lawan lima. Perempuan lawan laki-laki.
“Bergegas.
Kau tidak ingin sebutir peluru menembus jantungmu, bukan?”
Akhirnya,
perempuan paruh baya itu digelandang masuk ke dalam mobil. Padahal matahari
sedang terik-teriknya. Tapi yang dirasakan perempuan itu bukan panas, melainkan
dingin. Sekujur tubuhnya seakan membeku, menciut. Ketakutan resmi menjalari
tubuhnya. Tidak ada lagi pikiran yang menenangkan. Ia kalut. Sangat.
Sisa-sisa
perlawanan yang sia-sia itu meninggalkan bekas pada gang sempit itu. Isi tas
jinjing miliknya berceceran, lengkap dengan tali tas yang putus. Tidak ada yang
tahu.
Matahari
perlahan mulai tumbang ke arah barat.
*****
Nadi sumringah saat mendengar kaca jendelanya
terantuk kerikil kecil. Zaq datang. Gadis kecil itu turun dari tempat tidur,
meninggalkan album foto lama milik orang tuanya dulu. Album-album itu terjatuh
bersamaan dengan loncatan kecil milik Nadi. Sebuah album terbuka tepat pada
halaman terakhir. Sebuah foto yang sama sekali belum ia lihat. Sebuah foto lama
yang menguak semuanya.
Ia
mematut dirinya di depan cermin. Memastikan tidak ada rambut yang mencuat, atau
remah-remah roti yang tertinggal di sudut bibirnya. Semua beres, katanya.
Dengan
langkah tergesa, gadis kecil itu menyibak kerai, lalu perlahan membuka jendela.
Matahari sudah menyulap langit menjadi oranye. Sinarnya tidak lagi membuat mata
pedih. Justru sebaliknya, sinarnya nyaman sekali. Apalagi selain pemandangan
senja, di depan matanya, ia melihat Zaq berdiri di balik pohon kenari.
Namun,
wajah Zaq tidak cerah seperti biasanya. Gurat-gurat wajahnya serius, alisnya
terpaut, bibir yang selalu tersenyum itu bahkan terkatup sempurna. Sepertinya
tidak ada cerita hari ini.
Bukan
cerita yang Zaq bawa petang ini. Melainkan berita. Bencana yang mengerikan.
Laki-laki
itu berjalan cepat saat jendela kamar Nadi sempurna terbuka. Dengan tangkas, ia
melompat masuk ke dalam kamar kecil Nadi. Gadis itu hendak bersuara, menanyakan
ada apa. Namun pertanyaan itu tercekat di kerongkongannya karena Zaq lebih dulu
bersuara.
“Nadi,
cepat tutup lagi jendelanya. Ada hal yang harus kuberi tahukan padamu. Waktunya
sempit. Bergegas.”
Nada
suara Zaq sedikit panik, namun tetap terdengar tegas. Bukankah Bapak dan Ibu
akan marah jika tahu Zaq menyusup ke
dalam kamarnya, apalagi masuk lewat jendela seperti ini. Demi mendengar suara
Zaq yang panik, Nadi menurut.
“Dimana
Acturus?”
Acturus
adalah nama Bapak Nadi.
Nadi
sedikit tidak mengerti kenapa tiba-tiba Zaq kehilangan sopan satun saat
memanggil nama Bapak. Nadi yang tidak banyak bertanya. Nadi yang tidak memiliki
rasa curiga pada siapapun.
“Bapak
ada di kamar. Harusnya kau tahu hal itu, kan. Karena bau cerutu ini.”
Zaq
menghela napas. Setidaknya kekhawatirannya berkurang satu. Acturus sedang ada
di rumah. Semoga saja rencananya berjalan dengan baik. Ia ingin Acturus yang
kolot itu mau mendengarkannya sekali lagi. Sekali lagi saja.
“Baiklah,
sekarang dengarkan aku.”
Gadis
kecil itu mengangguk. Tanpa dikomando sekalipun, ia akan tetap takzim
mendengarkan Zaq.
“Satu
hal yang harus kamu tahu, Nadi. Semua cerita yang diceritakan Acturus padamu,
semuanya benar. Tidak ada bumbu-bumbu fiksi. Semuanya memang nyata. Aku yang
meminta agar ia menceritakannya padamu dengan cara yang sederhana. Namun
sepertinya kau menganggap itu hanya dongeng.”
Nadi
menelan ludah. Cerita-cerita itu. Kisah mengenai sekumpulan vampir yang tinggal
di perkampungan kecil di pinggir hutan. Sekumpulan vampir malang yang suatu
hari, diserang oleh manusia-manusia. Mereka akhirnya kocar-kacir, berpencar. Menyebar
di seluruh penjuru dunia, berharap dapat berkamuflase dengan kumpulan manusia
modern.
“Benar.
Kita adalah bagian dari mereka. Penjelasanku barusan dapat menjawab
pertanyaanmu. Kenapa Ibu hanya cantik saat malam, kenapa kau selalu dikurung di
dalam rumah, kenapa hanya Acturus yang memiliki mata merah.
Ibumu
bekerja, Nadi. Ia menjadi wartawan yang mengejar berita malam. Acturus tentu
tidak bisa bekerja, karena mata merahnya itu. Semua manusia hanya tau,
ciri-ciri vampir adalah matanya yang merah nyalang. Mereka tidak tahu, kalau
ada juga vampir yang bermata biasa. Seperti kau, aku, dan Ibumu. Kau pasti
sudah tahu alasannya melalui cerita Acturus.
Hal
kedua yang harus kau tahu. Aku adalah vampir terkutuk. Makanya, walaupun umurku
terus bertambah, keadaan fisikku tetap seperti ini. Aku abadi.
Nah,
aku juga bisa merasakan keberadaan vampir lainnya. Dalam lingkup luas,
tentunya. Siang tadi, aku kehilangan hawa keberadaan Ibumu. Maaf, Nadi, kalau
aku harus mengatakan ini. Ibumu mungkin sudah meninggal. Dengan anjing pelacak
yang sudah dikembangkan itu, mereka akan mengendus rumah ini dan menemukannya.”
Zaq
berhenti menjelaskan saat melihat Nadi jatuh terduduk. Tentu saja, semua berita
yang datang tiba-tiba itu akan mengguncang batinnya. Zaq tahu persis akan hal
itu. Namun, waktunya sempit sekali. Ia harus menjelaskannya seringkas mungkin,
membuat Nadi mengerti. Itu akan memudahkan rencananya untuk membawa pergi
keluarga Acturus dari sini.
“Akulah
orang yang membawa keluargamu pindah kemari. Aku menjelajah hampir sebagian
dunia, untuk menemukan para vampir lainnya. Hanya aku yang bisa melakukannya,
Nadi. Sekarang aku hendak membawa kalian pergi lagi. Sebelum manusia itu datang
kemari.”
******
Padahal
kukira, Zaq akan menceritakan kisah yang menyenangkan tentang laut. Aku belum
pernah sekalipun melihat laut. Kata Zaq, semua air yang ada di dunia ini
bermuara padanya. Namun, petang ini, dari mulutnya, meluncur berita yang
mengerikan.
Kami
adalah vampir. Ibu bisa saja meninggal. Rumah ini terancam ditemukan. Bergegas.
Kabur.
Aku
terkejut, lebih pada kenyataan kalau kami akan mati jika rumah ini ditemukan.
Tidak ada lagi rumah yang penuh gelak tawa, tidak ada bau asap cerutu milik
Bapak, tidak ada lagi pemandangan Ibu yang tertidur pulas, dan
Tidak
ada lagi Zaq. Lebih tepatnya, aku tidak bisa lagi melihatnya.
Namun,
saat Zaq berjongkok dan mengelus kepalaku, aku yakin, ia akan membawa pergi
keluarga ini lagi. Ke tempat yang aman. Aku percaya padanya. Aku percaya,
cerita tentang Nadi, Acturus, Alnilam, akan berlanjut di suatu tempat.
Zaq
tersenyum sekilas, lalu beranjak. Ia hendak menemui Bapak. Tepat saat tangannya
memutar gagang pintu, sebuah peluru memecahan kaca jendela kamarku. Suaranya
terdengar menyakitkan. Pecahan kaca jatuh berhamburan. Serpihan kaca kecil
menusuk betisku.
Detik
selanjutnya, semua terjadi begitu cepat. Zaq membalik badannya hendak meraihku.
Suara peluru terdengar lagi. Kali ini mengenai pintu. Saat tangan Zaq hendak
meraihku, lagi-lagi sebuah peluru kembali meluncur. Kali ini, telak mengenai
jantungku.
Jam seakan
bergerak sedemikian lambat. Aku bisa merasakan nyeri dibagian jantung. Napasku sesak.
Susah sekali bernapas. Seperti ada batu besar yang menghimpit paru-paruku. Aku mulai
kehilangan fungsi indraku. Pandanganku mulai kabur. Aku bisa merasakan tangan
Zaq yang meraih kepalaku. Ah, suaranya. Ia memanggil namaku. Lama-kelamaan,
semuanya pudar.
Pudar..
pudar.. lalu lesap. Menghilang.
******
Kekacauan
itu cepat sekali terjadi. Tahu-tahu, semuanya sudah tumbang begitu saja. Rumah kecil
itu porak poranda. Seorang laki-laki bermantel gelap dengan tangan yang
bersimbah darah itu berdiri di depan rumah. Ia menggeleng-gelengkan kepala.
“Kali
ini, aku juga gagal menyelamatkan keluarga ini.”
0 komentar:
Posting Komentar