Memang
berbeda. Bapak dengan pemikiran berdasar logika, dan Ibu yang menyangkut
pautkan sesuatu dengan perasaan. Kadang, untuk menemukan jawaban, aku bertanya
kepada mereka, lalu merakit jawaban sendiri.
Aku
sedang membantu Ibu menjemur pakaian di halaman samping rumah. Matahari sedang
terik-teriknya. Matahari hampir berada di atas kepala. Aku tidak sedang berada
di kota khatulistiwa, jadi matahari tidak pas berada di atas kepala.
“Ibu,
temen-temenku udah pada main naksir-naksiran” Kataku sambil menjemur rok
seragam sekolah punya Fatim—adikku. Rok ini pernah ku pakai dan pas. Padahal
adikku kelas 4 SD. Aku SMA kelas 11. Sial.
“Trus
kenapa? Kamu juga?”
Aku
mengambil celana panjang milikku dari ember, lalu menjemurnya, “Nggak. Eh,
belum”
Ibu
berdehem, “Wajar itu. Salah satu ciri manusia jadi remaja kan adanya
ketertarikan terhadap lawan jenis”
“Aku
normal nggak, sih?” Aku menyingkirkan ember yang sudah kosong, lalu menyeret
ember satunya yang masih terisi dengan baju-baju yang menunggu untuk dijemur.
Ibu
diam sebentar, lalu berkata, “Normal. Mungkin kamu memang sudah suka, tapi kamu
nggak peduli. Atau, caramu suka sama orang itu beda”
“Beda,
maksudnya? Rata-rata orang kan suka sama tampangnya. Yang ganteng kek, keren.
Padahal kan itu nggak penting”
“Ya
itu. Kamu suka sama orang nggak dari wajahnya. Bisa jadi kamu suka gara-gara
dia pintar, pengetahuannya luas, atau yang tatapannya teduh itu?” Ibuku
tersenyum penuh arti. Aku hampir melempar boxer punya bapak ke arah ibu.
Ya. Itu
aku. Yang dikatakan orang-orang tentang ‘ibu tau segalanya tentangmu walau kau
menyembunyikannya dengan rapi’ ternyata bukan omong kosong yang mengudara lalu
lenyap. Jadi ‘Ibu’ sepertinya keren. Jauh lebih hebat daripada peramal dengan
bola aneh miliknya itu.
“Mbak
Dina sama Mas Rifa kayak gitu juga nggak, Bu? Suka dari tampangnya” Kataku.
Belakangan ini kakakku itu sedang heboh-hebohnya dengan pacar barunya. Saat
liburan semester, ia sering numpang di kamarku hanya untuk videocall dengan
pacarnya (Karena kamarku sepi dan aku banyak menghabiskan waktu untuk tidur)
“Hmm..
Kalau mereka Cuma lihat wajahnya, lalu lama-kelamaan tau sifat masing-masing
dan merasa nggak ada kecocokan, pasti putus. Kayak Mbak Dina sama Mas Chamim
itu” Ah aku ingat. Mas Tjamiem—begitu aku memanggilnya—pacar pertamanya saat
kuliah. Anak band sekaligus tukang gambar yang jago.
“Tapi
kalo udah ‘suka’, walaupun kita sudah tau sifat jeleknya, kita tetep suka, kan”
“Hooo.
Kayak Ibu sama Bapak, ya”
Ibuku
mengangguk. Percakapan tentang cinta dibawah jemuran dan terik matahari selesai
sampai disini. Aku membawa masuk ember-ember kosong, sedangkan ibu masuk ke
dalam kamar. Sekedar merebahkan badan, katanya.
Aku
keluar lagi ke halaman samping rumah. Lalu duduk di ayunan. Ayunan yang sudah
ada sejak aku kelas 3 SD ini sudah berkali-kali di pindahkan. Posisi awalnya
bukan disini, tapi di halaman depan rumah. Setelah Bapak menanam palem, ayunan
ini dipindahkan ke halaman belakang. Saat halaman belakang ditata
gentong-gentong berisi ikan, ayunan ini pindah ke dalam garasi. Jika ada barang
baru, ayunan ini dipindahkan. Seperti itu sampai akhirnya ada di halaman
samping rumah.
Sinar
matahari terhalang daun-daun mangga yang sepertinya sudah harus dikurangi daun
dan dahannya. Pohon mangga ini terletak tepat di tengah-tengah halaman.
Ranting-rantingnya menyebar sampai menyentuh atap. Jika daun dan ranting tidak
dikurangi, bisa-bisa halaman samping rumah penuh hanya dengan 1 pohon mangga.
Kucingku
berputar-putar di kakiku, lalu meloncat ke pangkuanku. Seenaknya ia
melingkarkan tubuhnya di atas pangkuan. Wajar saja. Bangku ayunan yang terbuat
dari besi terlalu keras untuk dipakai tidur. Kadang aku iri, kenapa kucing bisa
tidur dimana saja.
Aku
punya kebiasaan aneh. Aku suka berbicara dengan kura-kura milikku. Walaupun ia
hanya akan memanjangkan kepalanya, tenggelam, muncul lagi dengan riak-riak air,
lalu berenang berputar-putar. Tapi kura-kuraku entah ada dimana. Gentongnya
kosong. Aku tau ia diam-diam kabur dengan memanjat mulut gentong, lalu mendarat
dengan sukses di atas rumput. Setelah itu, menjelajah!
“Woi,
Pus”
Aku
mengelus kepala kucingku. Ia membuka matanya, menatapku dengan tatapan ‘Jangan
ganggu aku tidur atau kucakar’
“Mun.
Mumun” Tidak ada respon. Inilah alasan kenapa aku lebih suka ngobrol dengan
kura-kura.
“Kamu
pernah naksir cowo nggak sih? Kucing jantan yang sering kamu pelototin apa
kabarnya?” Aku mengangkat kucingku. Berat. Aku ingin dia bangun dan menemaniku.
Mumun—nama
kucingku—membuang muka. Sepertinya ia tidak ingin membahas tentang masalah
pribadinya. Oke kalau itu maumu, Mun. Belakangan ini ia lebih sering
duduk-duduk di teras rumah. Saat kucing jantan warna oranye itu lewat, ia akan
melihatnya sampai kucing jantan itu hilang dari pandangan.
“Nggak
ada kemajuan, ya” Kataku. Mumun mengerjapkan matanya. Berlagak mengerti dengan
apa yang kukatakan. Padahal aslinya ia berharap aku menumpahkan Whiskas pada
mangkok makannya.
Pernah
suatu waktu. Aku melihat kucing jantan itu sedang duduk dengan anggun di bawah
mobil. Saat itu aku langsung menutup garasi. Mumun kutaruh dekat dengannya.
Bukannya saling PDKT-an, Mumun dengan langkah seperti perwira, langsung
mencakar muka kucing jantan itu.
Ah.
Sepertinya tatapan yang diberikan Mumun setiap kucing jantan itu lewat bukan
tatapan cinta. Tapi tatapan ingin menggorok leher kucing jantan itu.
Oke, Mun.
Tuanmu sekarang paham.
Mulai
saat itu, aku tidak lagi coba-coba berbicara tentang cinta pada Mumun. Cukup
aku, kura-kura, dan riak air dalam gentong yang menyimpan rahasia.
0 komentar:
Posting Komentar