Tanpa Suara

                Tidak tau apa yang ingin kutulis. Beberapa menit yang lalu, saat aku sibuk berjalan sendirian, sebuah ide melayang melewatiku. Menyapa ringan pada hatiku, dan tiba-tiba berlalu seperti angin. Ide menulis itu meninggalkanku, secepat angin meninggalkan pucuk gunung dan melaju lembut ke dataran rendah. Ide itu menguap seperti air laut terpapar cahaya matahari.
                Tepukan lembut mendarat di bahuku, aku mendongak untuk melihat muka orang yang menepuknya, lalu membalas senyumnya. Detik selanjutnya, ia duduk disebelahku, memegang bantal, dan aku, kembali sibuk melaut di lautan kata-kata yang dibalut rasa yang disusun Conan Doyle.
                “Jid,”
                Suara Rosa merusak hening di bawah pohon beringin. Kami berdua duduk di bangku yang sebenarnya, ada banyak semut disana. Tapi, semut-semut itu mau berbagi tempat duduk denganku, yang enggan meletakkan badanku di atas tikar di dalam tenda.
                Siapa yang tahan berada di dalam tenda bersama orang-orang yang selalu mengabaikan tiap kata yang keluar dari mulut? Aku hanya berada di dalam tenda saat ingin tidur. Saat siang, atau jam makan, atau saat aku tidak ada kerjaan, aku akan duduk di bawah pohon sambil membaca. Atau, aku akan berkunjung ke tenda-tenda teman.
                “Hmm”
                “Mending kamu masuk ke sangga ku aja deh. Dari pada kamu nggak tahan sama orang-orang di sanggamu”
                Aku menyelipkan pembatas buku diantara halaman. Menutup buku, dan memutuskan berbincang dengan teman sebangku ku dikelas, tapi beda sangga denganku.
                “Aku juga pengennya bisa pindah”
                Aku menatap ke arah tendaku, dengan 2 orang didalamnya yang tertawa seakan dunia hanya milik mereka. 3 orang termasuk aku, dapat giliran menjaga tenda saat 8 orang lainnya sibuk berpanas-panas mengikuti jelajah.
                Saat sangganya Beno keluar gerbang, aku tidak melihat Beno di barisan lengkap dengan muka malasnya. Selama apel pagi tadi, aku masih melihatnya. Muka malasnya ingin kubuang. Tapi anak-anak perempuan tidak boleh masuk ke daerah Pandawa.
                “Wah, Beno bener-bener pulang ternyata”
                Aku teringat ucapan Beno saat kami menunggu Rina selesai berjuang melawan soal semesteran pelajaran prakarya. Soal itu hanya kukerjakan selama 1 jam, entah aku yang pintar mengarang jawaban, atau soal itu yang mudah. Koridor kelas masih sepi, hanya aku yang berdiri sambil mencangklong tas di tangan kanan, lalu memutuskan menunggu Rina dan Beno keluar. Aku duduk di bangku panjang tepat saat pintu terbuka, dan Beno keluar lengkap dengan muka malasnya. Ia menghampiriku, lalu duduk disebelahku. Aku menggeser badan, memberikan ruang untuk dia. Lalu ia tiba-tiba berkata, ‘besok pas PCT(semacam kemah) aku Cuma ikut sehari doang hahaha. Ada acara keluarga’
                “Beno pulang? Ngapain dia pulang, Jid?” tanya Rosa, yang saat ini sudah tiduran. Mengabaikan semut-semut itu.
                “Katanya ada acara keluarga. Tadi anak-anak cewek juga banyak yang ngomongin Beno kalo dia dijemput pulang. Heboh banget pas aku lewat sambil bawa panci buat masak”
                Beno cukup terkenal di kalangan cewek. Faktor muka dan tingkahnya yang berbeda dengan anak laki-laki lainnya yang suka buat onar mengganggu anak perempuan. Senyumnya, kuakui, manis. Belakangan, makin banyak anak perempuan yang bertanya tentang Beno ke aku. Dimulai dari pertanyaan basa basi ‘Se-SMP sama Beno?’, ‘Dulu kalian sekelas?’ ,‘oh, gak sekelas. Kenal Beno pas SMA ya?’, ‘Dia anak astronomi juga?’ , ‘Dulu pas di SMP, dia kelas 9 apa?’ , ‘Kok bisa akrab sama Beno?’, dan bla bla bla.
                “Oalah, aku juga pengen ikut PCT sehari doang. Capek. Yang masak kamu, Jid?”
                “Iya, siapa lagi kalo bukan aku. Bego banget aku gak bawa bahan-bahan buat lomba handicraft nanti. Dan akhirnya aku minta botol-botol bekas sama pak tukang sampah”
                “Pas kamu lomba handicraft, aku ikut baksos. Emang baksos biasanya disuruh apaan ya. Gak tau apa-apa aku”
                Aku menggeleng, “Gak tau, Ros. Pas baksos dulu, aku gak ikut. Gara-gara pingsan pas upacara”
                “Kamu mau cerita apalagi, Jid? Bakal kudenger. Aku kalo bosen bakal kayak gini. Cerita apa aja. Bakal kudenger. Tentang mas Fafang kek, ato tentang apa gitu”
                “Tadi malem aku ketiduran, padahal ada jelajah malam. Orang-orang di sanggaku gak bangunin aku sama sekali Ros. Lalu kakak bantara yang bangunin. Aku telat pas apel malem, untung gelap, jadi gak keliatan. Tapi sebelumnya aku dimarahin pas papasan sama bantara”
                “Lha iya, mending kamu kutarik dari sanggamu. Lalu masuk ke sanggaku”
                “Lalu tadi pagi, aku telat dateng ke kantin soalnya nunggu giliran ganti baju. Pas sampai, mereka gak nyisihin makanan buat aku. Padahal aku yang bantu masak. Sampai sana, aku malah disuruh beresin piring-piring kotor”
                “Lalu kamu dah makan?”
                “Minum susu”
                “Kok jahat banget gitu sih orang-orang di sanggamu. Parah dah masa cewek jahat banget gitu”
                Aku membuka novel Conan Doyle lagi saat Rosa sudah selesai berkata-kata, lalu tiduran. Ah biarlah mereka bakal berbuat apa. Hanya menghabiskan tenaga jika melawan.
                Aku menang lomba handicraft. Dari sekian banyak lomba yang diikuti orang-orang di sanggaku, hanya aku yang menang. Dalam sanggaku, hanya aku yang disematkan tanda penghargaan.  Lucu juga, saat orang-orang berlaku jahat padamu, tapi akhirnya kamu berdiri di atas mereka.
                Bahkan saat aku maju untuk menerima penghargaan, mereka tidak tau handicraft apa yang kubuat, dan betapa susahnya aku berkejaran dengan waktu saat membutanya. Aku sempat mendengar mereka berkata ‘Lho? Yang maju lomba handicraft kamu toh?’ dari awal mereka tidak peduli.

                Aku berkata, tapi tak ada yang keluar. Tanpa suara. Dalam ruang hampa aku hidup. Waktu seakan mengejek keberadaanku, dan takdir menjerat seperti sarang laba-laba dan aku adalah lalatnya. Aku mengadu pada kesendirian, dan kesendirian meresponku dengan memberi sepi. 

0 komentar:

Posting Komentar