Sebuah Cerita

                Gadis itu melenggang pergi, meninggalkan teman-temannya yang memasang muka bingung. Ia bisa mendengar suara langkah kakinya yang menapak ubin dingin 20x20. Ia bisa mendengar teriakan kecil dan gerai tawa teman-temannya, lalu ia mempercepat langkah. Setelah jauh, ia mengeluarkan lipatan kertas dan pen. Ia mulai menulis.
                “Dengan ini, kuberitahukan padamu. Aku berteriak pada deretan tulisan ini. Pada deretan tulisan ini pula aku ingin mengakui semuanya. Tentang aku yang diam-diam memikul sebuah rasa yang dibalut dengan seluruh perasaan yang kupunya untuk orang lain. Aku ingin menulis semua tentang detailnya. Senyumnya, tingkahnya, bahkan tentang tepukan kecil yang mendarat di bahuku. Juga saat jari-jarinya menyentuh ujung kepalaku.
                Aku diam seolah bisu. Aku tidak mendengar seakan aku tuli. Aku tidak melihat apapun seolah aku buta. Aku tidak bisa bergerak seakan badan ini bukan milikku dan jiwa ku memberontak.
                Ya. Aku baru saja mengatakan kebohongan. Bukan aku, tapi mereka. Berkata seolah perasaanku ini dicuri dan pergi. Aku meng-iyakan. Tapi, yang sebenarnya terjadi, perasaanku masih ada disini, mendekam dibalik jemari yang tempo hari menyentuh ujung kepalaku. Perasaanku di genggamnya seolah ia tak percaya.
                Menggelikan. Konyol. Rasanya dunia ini seperti runtuh dan matahari sudah pergi meninggalkan Bumi saat mereka mengatakan tepat di depannya. Dengan muka yang dihiasi senyum miliknya, ia menoleh padaku, tertawa getir menertawakanku. Detik itu juga, aku pergi. Meninggalkan meja itu.
                Aku ingin mengambil perasaanku kembali. Tapi disaat yang bersamaan, aku ingin dia juga menyimpannya. Ada perang batin saat langkah kaki ku menyamai langkah kakinya. Ada perasaan yang bergerak melewati nadi, dan berakhir mendekap di jantung. Menghasilkan suara gemuruh. Saat tangan kami bersinggungan. Secepat waktu yang berlalu, secepat degup jantungku.
                Aku mencari sososknya di keramaian. Menerka setiap orang yang membelakangiku. Terus mencari seakan aku adalah bajak laut yang gila akan harta karun.

                Pen ini terus melaju. Melewati baris-baris kertas seperti kereta yang bergerak di atas rel, lalu meninggalkan uap-uap di udara

0 komentar:

Posting Komentar