Kites

                "Seminggu lagi, aku bakal pindah"
                Begitu katanya setelah ia menghampiri kami. Ia mengambil posisi duduk di antara aku dan Seto. Wajahnya sendu, biasanya ia akan mencipratkan air ke arah kami. Tapi kali ini, ia hanya duduk menselonjorkan kaki sambil merasakan air yang mengenai kakinya.
                Ini adalah kebiasaan kami. Duduk berlama-lama di pinggir pantai sambil menunggu matahari terbenam. Kami membicarakan apa saja, masalah sekolah, manga yang bakal terbit bulan ini, atau tentang ibu-ibu kami yang cerewet. Rumah kami bersebelahan, mungkin gara-gara itu, kami jadi teman akrab.
                Seto tersenyum ke arahnya, mungkin hanya Seto yang bisa membuat suasana hatinya membaik, "Pindah kemana?"
                Mary menghela napas, lalu memejamkan matanya, “Tokyo” Rambutnya yang panjang, di gerai begitu saja. Semilir angin membuat helaian rambutnya bergerak seperti ombak. Bergelung, saling berlomba.
                Tokyo? Itu jauh sekali dari sini. Kami tinggal di pedesaan dengan laut yang mengeliliginya. Kau bisa melihat hamparan warna biru saat kau membuka jendela di pagi hari. Kami sudah terbiasa dengan bau laut yang mengikuti kami kemanapun kami pergi, suara burung-burung camar, dan keributan kecil para nelayan.
                “Aku akan merindukan kalian, laut, dan kue mochi yang di jual di dekat sekolah” Mary menekuk kakinya, lalu membenamkan wajahnya diantara kaki nya. Ia pasti sangat sedih. Kerena kami tau, itu semua adalah kebahagiaan kecil miliknya.
                Aku mengedarkan pandanganku, melihat ke arah kepiting-kepiting merah yang berjalan menjauhi pantai, nelayan-nelayan yang sibuk dengan jaring dan perahu mereka, dan suara anak-anak pantai yang berlari kecil menyusuri tepi pantai. Mary akan merindukan itu semua.
                “Kau kan bisa datang kesini. Naik kereta” begitu kataku sambil tersenyum, seperti yang Seto lakukan. Tapi, saat Mary pindah, tak ada lagi yang heboh mengajak balapan sepeda saat berangkat sekolah. Tak ada lagi yang membawakan kami beberapa kepal onigiri saat duduk melihat bintang di atap rumah.
                Ia mengangguk lesu, “Bisa, tapi aku tak yakin. Karena jaraknya jauh sekali, Hibiya”
                Kami bertiga diam. Yang terdengar hanya suara camar, pekikan para nelayan yang sibuk menurunkan layar perahu, dan suara ombak di kejauhan. Yang dikatakan Mary memang benar. Dan itu artinya, kami tak bisa sering melihatnya lagi.
                “Mary, kamu ingat waktu kita main layang-layang di sini?” suara lembut Seto memecah keheningan di antara kami. Aku tak mengerti kenapa ia tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Tapi perlahan, ekspresi Mary berubah.
                Mary mengangguk, rambutnya yang panjang bergerak mengikutinya, “Ingat! Saat itu kita menerbangkan 50 layang-layang”
                Aku terkekeh di sebelahnya. Mengingat dulu kami pernah berpikir, menerbangkan 50 layang-layang itu mustahil. Kami sempat menyerah gara-gara memotong bambu susah sekali. Tapi Mary tiba-tiba muncul dengan bilah-bilah bambu, dan kertas-kertas di tangannya. Ia tersenyum.
                Kami tau ia tak akan menyerah semudah itu.
                “Saat itu, kamu yang paling semangat” aku menimpali sambil terkekeh geli. Matahari perlahan-lahan mulai turun, meninggalkan jejak warna jingga di langit, yang akhirnya berubah menjadi gelap. Hitam.
                “Iya! Karena Konoha yang sakit di rumah sakit pernah bilang, kalau ia ingin melihat layang-layang yang berjajar di langit pesisir pantai. Jadi kita buat itu dengan harapan agar dia cepat sembuh”
                Seto merebahkan dirinya di atas pasir, ia bersiul-siul sebentar, lalu menoleh ke arah kami, “Awalnya kita tak yakin, tapi akhirnya bisa. Hmm” ia bergumam sambil menyilangkan kedua tangannya di belakang kepala, “Kalau kita melakukan hal bersama, semua nya jadi mungkin. Kalau kamu tak yakin bisa kesini lagi atau tidak, kami yang bakal menjemputmu”
                Aku mengangguk, “Iya, jadi jangan suram begitu. Kami akan menemuimu”
                Mary menoleh ke arahku, lalu kearah Seto. Poni rambutnya yang selalu di kesampingkan, sekarang sedikit menutupi matanya karena angin. Ia menyibak poninya, lalu menyelipkannya di belakang telinganya.
                “Saat kamu datang kesini lagi. Untuk kedua kalinya, ayo kita menerbangkan 50 layang-layang lagi” Seto bangkit. Ia menggaruk-garuk belakang kepalanya sambil melihat sirius di langit selatan pantai. Bintang yang paling terang ada disana.
                “Ajak Konoha juga, lalu Kido, Kano, Ene, Momo, Shintaro, Ayano, Hiyori juga” aku tersenyum. Tiba-tiba aku semangat. Perasaan sedih saat mengingat Mary bakal pindah, hilang di gantikan perasaan tak sabar menunggu ia pulang.
                Mary tersenyum.  
                Aku beranjak, lalu ikut memperhatikan langit. Enaknya tinggal di pedesaan itu, kau masih bisa melihat bintang dengan jelas tanpa bantuan teleskop. Disini, lampu-lampu belum begitu banyak seperti di perkotaan.
                Di perjalanan pulang, kami membicarakan tentang masa lalu. Saat kami bertiga pergi ke festival kembang api, saat aku menemukan tangga rahasia ke atap rumahku, tertawa di balik kincir angin raksasa, atau saat kami menerbangkan layang-layang.

                Semoga kami tetap seperti ini. Bersahabat. Dan tak ada yang berubah. 

0 komentar:

Posting Komentar