Aku
menutup mulut dengan binder yang kubawa. Berusaha menyembunyikan fakta bahwa
aku tertawa sendirian. Aku tidak ingin dinilai sebagai orang kurang sehat yang
tertawa saat berjalan sendirian di lorong kelas.
Aku
baru tertawa lepas saat berpapasan dengan Vian yang sama-sama hendak masuk ke
dalam kelas. Dia, tidak bertanya apa-apa, hanya memasang wajah bingung. Saat
aku mendorong pintu kelas, baru ia bertanya.
“Kenapa,
Maj?”
Wajah
bingung khas miliknya masih melekat, kali ini lebih parah. Alisnya terpaut,
dengan intonasi suara yang penasaran.
“Yan,
tadi Jojo nanya ke aku.” Aku berbicara dengan suara yang masih terdapat sedikit
bekas tertawa. Kali ini, Vian semakin berwajah ‘hah?’
Aku
menyamarkan namanya menjadi ‘Jojo’ Agar tidak ada pihak yang tersinggung atau
tau tentang siapa sebenarnya orang yang sedang ku bicarakan ini. Aku hanya
menceritakan dia dengan nama asli kepada Vian. Karena, Jojo adalah teman SMP kami.
Di
sekolah kami, Jojo dipandang sebagai manusia paling aneh. Ia suka berkeliling sekolah
tanpa tujuan. Sembarang mengajak bicara orang, menyapa orang lain yang entah
dia sendiri kenal atau tidak, ikut nimbrung
saat ada kumpulan laki-laki yang cekikan di kantin, dan mengajak berkenalan
cewek cantik. Sebenarnya masih banyak lagi. Dia aneh sekali. Jojo bisa ada
dimana saja. Mungkin itu cara dia untuk merasa dekat dengan semuanya. Walaupun
caranya tidak lazim.
Semua
siswa mengenalnya. Dia terkenal karena nyentrik. Namun, sayangnya, caranya yang
tidak lazim itu malah membuatnya sendirian. Jojo selalu sendirian. Bahkan,
banyak yang mengolok-olok dirinya. Menertawai caranya yang aneh. Ada satu
lawakan yang sangat terkenal di kalangan cewek-cewek, yaitu ‘eh, itu loh si
Jojo. Dia nyariin kamu tuh. Ciee disamperin sama pacar’ lalu mereka tertawa-tawa.
Lucu, katanya.
Orang-orang
itu hanya melihat yang kasat mata saja. Menilai dengan mudah berdasakan sudut
pandang mereka, berprasangka, lalu menceritakannya kepada orang lain. Semudah
itu kabar palsu meluas. Seperti menyulut api pada daun-daun kering.
Aku
ingin semua orang yang membaca ini ingat bahwa berprasangka baik itu penting.
Padahal,
Jojo adalah anak yang ringan tangan untuk membantu. Aku pernah melihatnya dari
jendela lantai dua, ia sedang membantu anak-anak rohis menjemur karpet masjid.
Padahal dia tidak mengikuti ekskul rohis. Saat itu bel pulang sudah 2 jam yang
lalu terdengar. Sekolah sepi, hanya ada beberapa anak yang mengikuti ekskul.
Aku
meletakkan binder di atas mejaku. Vian sedikit membungkuk entah melakukan apa
pada laptopnya. Aku tidak sempat melihatnya. Vian duduk di belakangku, cukup
mudah untuk mengajaknya bicara. Cukup hadap belakang, dan aku akan
menemukannya.
“Nanya
apa dia?”
Badannya
kembali tegak. Ia menatapku sambil sebelah tangan ia taruh di pinggang.
Berkacak pinggang. Aku sudah tidak tertawa, namun masih berbicara dengan senyum
yang menempel pada wajahku.
“Jojo
tanya gini, ‘mbak, kelasmu mana?’”
Aku
mencoba menirukan intonasi suara Jojo saat ia mengatakan itu. Sukses. Aku
tertawa lagi, namun Vian tidak. Wajah ‘hah’ miliknya sudah hilang sejak ia
melakukan sesuatu pada laptopnya.
Ia
menyentuh bahuku, “Maj, demi apapun, jangan pernah kamu jawab.”
Kali
ini giliran aku yang memasang wajah ‘hah?’ Alisku terpaut, mulutku setengah
melongo. Aku menjelaskan kepada Vian dengan singkat. Jojo bertanya. Aku diam.
Menunjuk kelas kita. Jojo nyengir. Aku masih diam lalu pergi.
Setelah
aku selesai menjelaskan, tawanya meledak. Lihatlah, manusia kurus di depanku
ini tertawa dengan begitu puasnya. Baru saat tawanya mereda, ia kembali
menyentuh bahuku. Lebih tepatnya, ia menepuk bahuku dua kali.
“Tunggu
aja, Maj. Bakal ada saat dimana si Jojo bakal masuk ke kelas kita, lalu bilang,
‘Majidanya ada?’ Tunggu, Maj.”
“Seriusan?”
“Iya.
Aku kan satu SMP sama dia, sama
kamu juga. Dia emang suka nyariin orang ke kelasnya, padahal ngga ada yang
perlu disampaikan. Jojo suka melakukan hal tanpa alasan. TANPA ALASAN.”
Vian
menekankan kata-kata ‘tanpa alasan’. Aku tidak seutuhnya terkejut, atau
kalang-kabut karena akan mendapat teror ‘Jojo’. Hanya saja, aku bingung.
“Tapi,
Yan, namaku kan ketutup sama jilbab. Jojo ngga tau namaku.”
Dia
menepuk bahuku, lagi. Vian memang suka melakukan itu kalau ia sedang menasehati
seseorang, atau mengungkapkan ‘sabar ya’
“Majida,
jangan remehkan Jojo. Dia bisa tau namamu entah dengan cara apa.”
Vian
merebahkan badannya pada kursi, lalu terkekeh pelan. Percakapan kami berakhir
disitu. Vian kembali sibuk dengan laptopnya, aku kembali membaca novel.
Kalian
tau kenapa tadi aku tertawa setelah berlalu meninggalkan Jojo? Tentu saja
beralasan dan aku tidak sedang menertawainya seperti cara cewek-cewek di
sekolahku. Akan kuceritakan.
Aku
memang suka sekali berangkat sekolah mepet jam masuk. Tidak telat, hanya
setelah aku masuk gerbang, bel masuk berbunyi. Jojo kadang duduk-duduk di lobi
setelah mengikuti apel pengibaran bendera di tiang depan lobi. Rutinitas setiap
pagi sekolah kami. Saat aku melewati lobi, ia sering melihatku. Aku menolehpun
tidak. Aku hanya melihatnya dari ujung mata. Sekilas. Saat berpapasan, kadang
ia juga melihatku. Bukan hal baru karena Jojo memang suka lirik-lirik cewek
cantik. Namun aku tidak merasa kalau aku ini cantik. Aku perempuan yang biasa
saja.
Aku
tertawa karena akhirnya dia berbicara juga padaku. Setelah sekian lama. Aku
tertawa karena, kata orang-orang Jojo suka mengajak berkenalan. Namun dalam
kasusku, dia bertanya dimana kelasku.
Aku
hanya ingin bersikap baik kepada siapapun. Dia tidak melakukan pelecehan
terhadap perempuan, atau berkata hal-hal jorok. Aku tau karena aku suka
mengamati orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar