ARTEFAK: Kue Perubah Hati

 (Aku menemukan artefak bertanggal 19-09-2016. Aku akan mengajak kalian semua cringe dengan tulisanku sembilan tahun lalu. Ini murni fiksi.)

(HAHAHAHAHAHAHA. Aku tidak melakukan editing apa-apa. Malas. Tanda baca? Apa itu tanda baca?)

***

Zaq memang tau persis apa yag bisa membuat gadis itu merasa baikan.

Jingga masih menggenggam erat pundak Zaq, sambil menyenandungkan lagu kebangsaan mereka. Hanya mereka berdua yang tetap bersorak walau lagu itu sudah tidak berada pada jamannya lagi.

“Heh, udah sampe. Mau sampe kapan kamu megang-megang pundakku sambil nyanyi?”

Zaq menepuk-nepuk tangan kurus Jingga yang masih erat menempel pada pundak laki-laki jangkung itu. Jingga hanya melempar senyuman jenaka, mengacak-acak rambut Zaq yang berantakan karena angin, lalu melompat turun.

Sepeda Zaq tersandar sempurna pada pohon mangga di depan toko. Ini toko kue. Usaha kecil-kecilan milik Nenek Zaq. Sejam yang lalu, Jingga menarik lengannya. Mengajaknya untuk bersepeda keliling kota. Wajahnya kusut lengkap dengan bibir yang mengerucut. Marah ala Jingga memang selalu khas.

Lalu Zaq berkata dengan suara rendah, bahwa ia akan mengajaknya pergi ke toko kue Grand. Jingga tak pernah merasa bosan disini. Siapa sih yang akan bosan jika memakan kue-kue itu lengkap dengan cerita-cerita Grand tentang masa lalunya?

“Grand!”

Suara Jingga menggema memenuhi langit-langit toko. Grand muncul dari balik kasir dengan celemek warna pastel—hadiah ulangtahunnya dari Jingga—dan seulas senyum yang mengatakan ‘selamat datang’

Toko kecil ini memang terlihat sepi, tapi, saat hari-hari tertentu seperti natal, tahun baru, perayaan ulangtahun, atau hari-hari yang biasanya di tanggalan berawarna merah, toko ini mendadak ramai. Bagian dalam toko dibuat minimalis dengan rak-rak berisi kue yang berjajar apik di dekat kasir. Zaq yang mendesain ini.

“Jingga, anak cewek nggak boleh teriak-teriak kayak tarzan” Sebuah tangan membekap mulut Jingga dari belakang. Zaq tertawa renyah menertawakan usaha gadis itu untuk melepaskan tangannya.

Grand ikut terkekeh melihat polah mereka. Dua remaja berusia 16 tahun. Dulu mereka berdua hanya bocah yang tau bahwa dunia adalah taman bermain yang luas. Grand menggeleng-gelengkan kepala. Mereka sudah tumbuh sekarang.

Zaq mengelap telapak tangannya pada serbet yang tergeletak di atas meja, “Jangan digigit juga dong tanganku. Kalo laper jangan makan tangan orang. Ekstrem amat”

Jingga memeletkan lidahnya, “Peduli amat. Salah siapa tangan Zaq tiba-tiba ada di depan mulutku” Tawa Jingga pecah, “Makannya, jangan berani-berani sama Jingga. Jingga dilawan”

“Dasar cewek tarzan” Zaq melempar serbet ke arah Jingga dengan geram. Terlambat. Jingga sudah bersembunyi di balik punggung Grand sambil memasang wajah pura-pura takutnya.

Grand tersenyum. Toko kecil ini mulai diisi dengan keisengan Jingga dan gerutuan-gerutuan Zaq yang khas. Daripada duduk sendirian sambil menunggu kue mengembang di balik oven, lebih baik jika ramai seperti ini, kan.

“Hari ini kenapa?”

 Grand bertanya saat mereka sudah duduk mengelilingi meja dengan kue dan secangkir teh. Sesuatu yang sayang sekali jika dilewatkan. Dan Grand selalu tau, jika Jingga dan Zaq datang, pasti membawa cerita.

Zaq menunjuk ke arah Jingga dengan matanya. Tanya aja sama Jingga. Cewek itu kan emang dikit-dikit punya masalah. Sedangkan Jingga, sudah sibuk mengunyah kue sambil menatap jalanan sepi dari balik pintu toko.

Jingga menoleh, sadar jika dilihat, “Apa kamu liat-liat? Mau ngajak berantem?”

Cowok itu melongo. Hei, sejak kapan melihat orang malah di ajak berantem? Alis Zaq terangkat sebelah, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Malas. Dasar cewek tarzan.Giliran ada masalah dikit baru keliatan kalemnya.

Jingga meletakkan cangkir, lalu memulai ceritanya dengan sebuah tarikan napas yang panjang, berujung ‘fuuh’ pelan. Cerita yang menyenangkan akan berawalan dengan sorot matanya yang menyala, dan nada suara yang menggebu-gebu. Cerita yang menurutnya tidak menyenangkan hanya diawali dengan helaan napas panjang.

“Grand, Zaq, kalian berdua harus tau ini”

Zaq memutar bola matanya. Setengah tidak peduli. Setengahnya lagi malas. Palingan hanya masalah sepele seperti berangkat kesiangan karena mengurus rambut yang mengembang sempurna saat bangun tidur, terkunci di gerbang, dan disemprot habis-habisan dengan guru, atau yang paling parah, PR nya malah ketinggalan.

Sebaliknya, Grand tampak antusias seperti biasa. Grand pendengar yang baik. Tidak terkesan menggurui atau terlalu banyak memberi komentar. Grand sesekali terkekeh di sela-sela cerita, mengangguk-angguk, atau sekedar tersenyum. Baru setelah cerita selesai, Grand akan berkata hal yang sanggup menenangkan.

“Grand, Zaq, pernah nggak kalian ngerasain pengen deket terus sama orang lain? Perasaan seneng hanya karena liat senyumnya pas pagi, atau nggak sengaja memikirkan orang itu di sela-sela menghapal pelajaran?”

Zaq hampir menyemburkan teh yang baru saja ia sesap. Tunggu dulu, apa Jingga berkata tentang cinta? Cewek tarzan itu? Yang tiap hari bertingkah konyol dan suka sekali menepuk pundaknya dengan keras?

Grand sempat tertegun. Lalu tersenyum. Merasa itu hal yang wajar.

“Kesel juga kenapa bisa tiba-tiba kepikiran. Aneh, kan. Padahal aku nggak punya rencana bakal mikiran dia. Tapi, Grand, saat aku panik, kelimpungan gara-gara harus banyak belajar untuk olimpiade, tidur sehari hanya 3 jam, dan aku kadang frustasi kenapa hasilnya selalu begitu-begitu saja padahal aku sudah berusaha sekeras itu,

Kadang, pas liat senyumnya, aku mikir, ‘ternyata ada juga ya senyum kayak gini’ rasanya damai banget. Itu bahagiaku nomor 2. Bahagiaku nomor 1 adalah kalian berdua. Grand dan Zaq”

Grand terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepala. Bahagia bisa sesederhana itu. Arti bahagia ala Jingga sederhana sekali, kan. Grand mengurungkan niatnya untuk bertanya. Paling nanti Jingga akan mengatakannya sendiri.

“Aku? Bahagiamu? Kamu bahagia ya kalo tiap turun dari sepeda langsung mukul pundakku? Atau kamu bahagia gara-gara kalo ada pelajaran yang nggak kamu ngerti, kamu buru-buru berguru ke aku?”

Zaq mendengus sebal. Jingga menatapnya sebentar, lalu melanjutkan ceritanya lagi. Nanti, akan ia jelaskan.

“Aku suka nikmati waktu kayak gini. Bareng kalian. Ketawa bareng, kalo aku sedih juga selalu ada kalian yang jadi tempat cerita. Rasanya aku sudah nggak ngerasa frustasi lagi. Bebanku ilang entah kemana. Woosshhh. Aku pengen terus bareng sama Grand dan Zaq”

Zaq membuang muka saat Jingga menatapnya sekilas. Bisa juga ya, kata-kata seperti itu keluar dari mulut Jingga. Alasan kenapa Zaq bisa sedekat ini dengan Jingga adalah, karena sejak awal, cewek itu yang menarik-nariknya. Lalu, tiba-tiba saja mereka bisa berteman.

“Kita memang selalu bersama, kan? Seperti saat ini. Seperti yang Jingga bilang. Grand, kamu, dan Zaq. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kalau kamu frustasi, itu artinya kamu masih merasa belum cukup dan selalu berusaha lebih keras lagi. Lalu tentang manusia-dengan-senyum-damai-mu itu, Grand tak ingin berkata apa-apa. Biar kamu yang cari jawabannya sendiri”

*****

19 September 2016 17:13. Ditemani lagu Sleeping With Sirens-Iris. Niatnya mau mandi, tapi tiba-tiba kepikiran bikin ini, akhirnya balik lagi ke kamar sambil mengalungkan handuk. Keinget tadi pas pulang sekolah, aku makan di kantin bareng Rosa, Beno, Mentari, Rina, Vian. Bercerita banyak entah sampai mana. Lalu mikir kayaknya keren kalo Zaq juga ada disini.


BIRD-BRAIN

Aku sedang menjelajahi spotify dan menemukan playlist 'BIRDBRAIN 100hr'. Benar, seratus jam. Rasanya seperti  sedang dicuci otak. Tapi yang membuatku tertawa ditengah kepanikan dan kantuk ini adalah, kenapa tidak menggunakan fitur repeat?  Putar satu lagu, klik ikon repeat dan selamat mendengarkan sampai... tahun depan juga bisa. 

Lagu aneh ini membuat sebagian isi kepalaku tidak berisik. Tolong wakilkan ketidakwarasan ini, begitu kataku. Aku tetap waras. Saat pertama kali menemukan lagu ini, aku memberi tahu Zaq. Aku lupa apa yang dia katakan saat itu tapi kurasa ia tidak tertarik. 

Aku akan tidur setelah menulis hal-hal random di dalam isi kepalaku atau apa yang kupikirkan. Ditemani oleh lagu otak burung, ayo mulai. 

Tadi sore, ketika aku menggosok gigi di wastafel, aku memikirkan sesuatu. Hal yang berputar-putar dan saling berkaitan dan kepalaku pusing melihat air yang berputar sebelum masuk ke lubang wastafel. Tapi apa ya? Apa yang kupikirkan saat itu? Rasanya seperti "TING!" lalu kemudian aku melupakannya. Rasanya seperti "OH JADI BEGITU!" tapi sekarang aku tidak ingat apa-apa. 

Tadi pagi saat aku melakukan ritual, karena tidak ada yang dilakukan, aku akhirnya memikirkan tentang bagaimana aku berpikir. Aku berpikir tentang cara berpikir. Aku bukan orang yang perfeksionis tapi aku lumayan detail. Detail tapi tidak menuntut kesempurnaan mutlak. Tapi cara kerja yang kuanut tidak rapi dan loncat-loncat. Segala kontradiktif itu ada di dalam kepalaku. 

Mudahnya, aku orang yang rumit.

Ada kontradiktif yang lain. Aku memikirkan ini-itu, tapi disatu sisi aku pelupa. TAPI aku bisa menjadi pengingat yang baik dibeberapa hal. Tidak, kalimat selanjutnya tidak berisi penjelasan untuk itu karena aku juga tidak tahu faktor apa yang mempengaruhi tingkat ke-ingatan-ku pada suatu hal. Itu juga terjadi secara... random? 

Ngomong-ngomong, mari loncat ke obrolan lain. Aku mulai pusing dengan apa yang kutulis sendiri dan ingin ganti topik saja.

Aku tidak suka short video dan tidak suka cara kerja reels atau tiktok yang membuat manusia menggulir layar ponsel dengan cepat. Misalnya, ada orang yang menghabiskan waktu satu jam untuk menikmati reels atau tiktok. Satu jam ada 60 menit. Jika durasi tiap video adalah satu menit, dalam satu jam ia sudah menonton 60 video pendek! Tapi bagaimana jika durasinya kurang dari satu menit atau orang itu hanya melihat beberapa detik lalu langsung menggulir ke video selanjutnya? 

Hmm. 

Jika tiap video memuat informasi yang berbeda, ia sudah menelan 60 (atau lebih) informasi yang berbeda. Bagaimana otaknya mampu mencerna informasi yang lewat dengan sangat cepat begitu? Kemudian, ini yang terjadi: orang itu menelan mentah-mentah apa yang ia lihat dan baca. Selanjutnya, karena otak jadi tidak bekerja keras, orang itu menjadi malas dalam berpikir mendalam. Ingin yang praktis saja. Menjadi tidak terlatih dalam memproses informasi, hanya telan saja semuanya. 

Sebenarnya masih panjang jika ingin dibahas. Soal kesadaran dan kontrol diri penuh dalam mengonsumsi konten, memilih konten yang mendukung untuk passion atau karir, dll. Cuma mendadak aku malas menulisnya karena mataku semakin berat. Toh ini bukan essay, jadi tidak ada keharusan untukku menyelesaikannya. 

Kaamos

Aku merasa bersalah dan bukan pada posisiku untuk bisa menulis ini. Tapi, jika tidak kulakukan, semua kata-kata memenuhi pikiranku dan aku terpaksa menjalani keseharian sambil memboyong itu. Benar, ini hanyalah keegoisan untuk menyelamatkan diriku sendiri.

Apakah kamu tahu bahwa setiap manusia memiliki sisi tergelapnya? Aku memandang manusia seperti sebuah bawang, penuh lapisan. Kemudian, ada bagian terdalam, yang tidak semua orang bisa menerima itu. Karena orang-orang cenderung menghindari hal suram dan hal negatif. Mereka lebih senang berkumpul mengelilingi cahaya yang terang. Untuk apa? Tentu saja untuk meredakan gelap mereka sendiri.

Kemudian, kita, terpaksa menutup rapat bagian terdalam itu. 

Aku punya teman dari Irlandia, namanya Wry. Ia seseorang yang umurnya sangat jauh di atasku dan memutuskan untuk hidup sendiri dengan anjingnya. Ketika mengobrol dengannya, Wry berkata bahwa aku mengingatkannya akan dirinya dimasa muda.

"It's absolutely clear you're a deep person. I can see the thought you put into everything. You're more deep than the average person, and so you need a deeper connection with other people."

Untuk waktu yang lama, aku menyembunyikan sisi diriku yang seperti itu. Orang-orang tidak perlu tahu sedalam apa diriku. Cukup mereka lihat saja sisiku yang katanya kekanak-kanakan itu. Jika mereka membaca tulisanku, cukup sampai mereka berpikir aku puitis. Jika mereka melihat karyaku yang lain, cukup sampai mereka berpikir itu estetik. Pemahaman sederhana seperti itu akan menyelamatkanku.

Beberapa orang pernah memintaku untuk menjadi lebih terbuka dan kurasa mereka menyesal. Harusnya aku sudah siap untuk reaksi mereka, tapi kenapa aku kecewa? Jawabannya mudah, karena sebenarnya setiap orang ingin bisa diterima dan dipahami. Itu membuat mereka merasa memiliki tempat aman untuk melepas tameng mereka untuk menghadapi dunia dan menjadi apa adanya. 

Untukku, kurasa tempat aman yang tepat adalah jika aku tidak membiarkan orang-orang tahu sedalam apa pikiranku. Baik mereka atau pun aku, keduanya sama-sama tidak siap. Aku tidak siap jika harus menguarkan energi negatif. Aku juga tidak siap dengan penolakan. Kemudian, mereka tidak siap dengan rasa lelah yang akan kutimbulkan. 

Aku tahu bahwa sisi ini bukan hal yang harus ditoleransi. Untukku sendiri, aku masih berusaha mengontrol isi pikiranku dan tidak bias dengan analisisku. Aku perlu waktu. Usia Wry hampir menyentuh dua kali usiaku, ia bilang aku tidak perlu terburu-buru karena aku masih sangat muda (baginya) dan bahkan diusianya pun ia masih banyak belajar. Tapi apakah dunia punya kesabaran untuk menunggu seseorang?

Jika kelak ada orang yang menyuruhku menjadi lebih terbuka karena alasan-alasan baik, kurasa  aku akan terima niat baiknya saja. Sampai aku siap dan sampai ada orang yang tepat untuk itu. Aku berhenti untuk menjadi menyedihkan dan berharap. 

Lamunan Sebelum Tidur

Aku melihat kucingku yang memakan tempat hampir setengah ukuran kasur. Wajah tidurnya terlihat damai. Setiap hari kesibukannya hanya makan, tidur, main, dan buang hajat. Ia hanya hidup dan ada. Walaupun tidak berguna, kenapa aku masih menyayanginya?

Aku mengamati kucingku yang berwajah mirip om-om. Soi imut dan bulunya lembut. Apakah hatiku luluh karena visualnya yang menggemaskan? Tapi kelakuannya mirip suku barbarian ketika lapar atau porsi makanannya kurang. Soi akan mencakar atau menggigit kakiku. Dalam hal ini, ia memberi luka pada kakiku. Ia menyakitiku. Aku masih sayang padanya.

Kadang Soi bertingkah licik. Ia sudah dapat jatah makan dari Ibu, tapi meminta makan padaku. Aku, karena tidak tahu bahwa Ibu sudah memberinya makan, akhirnya menaruh makanan pada mangkok Soi. Jika kami lupa menaruh jatah ikannya ke dalam kulkas dan meninggalkannya di atas meja, Soi akan melompat lalu memakannya. Ia licik, namun aku masih sayang padanya.

Bahkan jika Soi tidak imut lagi, aku yakin aku masih menyayanginya. Ini rasa sayang tanpa syarat. Kemudian, aku berpikir, jika kucingku bisa berbahasa manusia dan mengatakan isi hati atau pikirannya, apakah aku masih bisa menyayanginya?

Kemudian, aku berpikir lagi. Apakah konsep "mencintai" pada Soi bisa diterapkan pada semua makhluk hidup termasuk manusia? Menyayangi tanpa syarat, tanpa pertimbangan, tanpa perhitungan.

Mencintai manusia itu lebih rumit. Selalu ada banyak pertimbangan, perhitungan, perbandingan. Ada banyak tulisan yang berkata "aku mencintaimu dengan sederhana", tapi 'sederhana' apa yang dimaksud? Sesederhana apakah itu? Mungkin seperti tidak menuntut, membiarkan menjadi diri sendiri, atau hal-hal semacam itu. 

Bagaimana dengan cinta yang serius? Bagaimana dengan cinta versi orang dewasa?

Jika suatu pasangan memutuskan untuk menikah, pasti selalu ada banyak pertanyaan. Bagaimana dengan keluarganya, dari golongan terpandang atau biasa? Kerja apa? Seperti apa pendidikannya? Bagaimana agamanya? Berapa gajinya? Bagaimana pola hidupnya? Bagaimana penampilannya? 

Kita jatuh cinta dengan banyak pertimbangan.

Cinta milik orang dewasa tidak sederhana walaupun banyak tulisan yang bilang "aku mencintaimu dengan sederhana" karena pada akhirnya kita menjadi penuh pertimbangan. Kemudian, untuk apa semua pertimbangan itu? Agar tidak malu ketika berdiri ditengah masyarakat? Agar 'citra' kita tetap terjaga dengan baik?

Aku mulai memikirkan ini semua.

Aku ingin mencintai seseorang tanpa perlu memikirkan hal-hal rumit itu. Aku ingin jatuh cinta pada matanya, pada caranya berbicara dan tertawa, pada dirinya yang menjadikanku berani, pada obrolan-obrolan panjang tentang segala hal, pada caranya menggenggam tanganku. Aku tidak ingin peduli pada latar belakang keluarganya, sebanyak apa uang yang ia miliki, fisik yang ia punya, atau setinggi apa pendidikannya. 

Itu adalah cinta penuh idealisme yang akan dimatikan oleh dunia. Kemudian masyarakat akan menuding itu cinta yang tolol. Tapi siapakah mereka yang berhak mengatur dan mendikte soal ini? 

Kemudian, dunia berubah menjadi rimba yang dingin karena cinta lahir dari banyak pertimbangan, perhitungan, dan perbandingan.  

Edisi Muti:

Sebenarnya aku masih.. Aneh. Bukan dalam konotasi yang negatif. Selama ini aku menulis Zaq sebagai sebuah nama tokoh fiksi dalam cerita bikinanku. Nama itu bersanding dengan  tokoh fiktif lainnya dan bukan namaku. Aku seperti membuat adegan, seperti memutar film di kepalaku dan aku adalah penonton sekaligus pencerita. 

Aku sudah menulis tiga cerita 'Edisi Zaq'. Itu bukan cerita fiktif. Segalanya nyata dan terjadi. Ternyata sungguhan ada waktu dimana kami 'nyata' dan berada di satu frame cerita yang sama. Zaq yang muncul dari balik pintu dan tersenyum, seakan ia keluar dari buku-bukuku, tulisanku, juga sekumpulan puisi "Tuan Teduh"

Pada akhirnya, kami kembali setelah banyak hal. Mungkin ini terjadi karena ia tidak menyerah atas diriku. Tapi ia berkata, "kamu juga kenapa masih mau maafin aku?" Aku mengangkat bahu, tidak tahu. Aku memang pernah marah dan benci padanya, tapi aku tidak bisa menghapusnya dari hidupku. Apa ini karena diriku sembilan tahun lalu yang menulis hal-hal cringe? Apakah anak kecil itu mengutukku? :0

Mungkin kami kembali karena masing-masing dari kami tidak menyerah satu sama lain. Ia berusaha menepati janjinya untuk menjadi lebih baik untukku. 

Oke mari lanjut untuk 'Edisi Zaq' karena masih banyak yang perlu ditulis :D