9/7

Aku tidak tahu darimana asalnya, tapi mendadak orang-orang mulai berpikir aku memiliki anger management issue. Bahasa mudahnya adalah tukang ngamuk. Una berkali-kali mengingatkanku jika ada hal atau orang yang menyebalkan, jangan buru-buru diserang. Aku mengangguk mendengar Una, meng-iyakan karena ia benar. Tapi sayangnya perkataan Una hanya sekadar lewat saja. Besoknya, saat ada yang mengusikku, aku kembali memarahinya. Sebenarnya aku tidak benar-benar marah, aku hanya vocal dengan apa yang kurasakan. Aku hanya terus terang. Sayangnya, dengan pembawaanku, orang mengira aku sedang marah.

Una lelah. Melihat kelakuanku, ia tersenyum dan berkata, "lebih baik kamu beli suntikan titan biar bisa rumbling terus." Una menyerah. Aku nyengir karena perkataannya lucu. 

Beberapa saat lalu sempat ada masalah dengan salah satu minimarket yang menyediakan jasa delivery. Ada barangku yang kurang dan ini sudah ketiga kalinya terjadi. Waktu itu aku sakit. Bahkan ketika sakit, ternyata aku masih memiliki tenaga untuk protes. Aku sedikit membuat kegaduhan. Walaupun ternyata percuma saja karena sejak awal masalahnya ada pada karyawan mereka. Mereka seperti sepakat untuk berbuat curang. Aku sampai pada kesimpulan: nanti kalau beli lagi, mending aku saja yang terima langsung dan cek barang di depan kurir. 

Aku menceritakan itu semua pada Zaq dan ia mengatai aku sebagai 'jawir' karena cara ngamukku. Aku nyengir karena perkataannya lucu. Ia juga tidak menyuruhku untuk sabar, jadi aku lanjutkan saja ngamuk 'jawir' itu. Jika aku tidak sakit, ada kemungkinan aku mendatangi minimarket dan 'rumbling' disana. 


Zaq mengirim chat itu padahal ia yang membuatku kesal. Aku nyengir karena memang lucu. Lucu, tapi aku tidak ingin mengakuinya jadi stiker kucing itu adalah balasannya. Jika bertemu dengannya, sepertinya aku harus berusaha keras untuk tidak memukulnya. Zaq menyebalkan. Walaupun kami sudah mengenal sejak jaman SMA, sikap menyebalkannya selalu punya gebrakan baru. 

Jika menyelam jauh di blog-ku, kemungkinan kalian akan menjumpai beberapa tulisan atau cerita dengan nama 'Zaq'. Aku sempat menulis di Wattpad dan meminjam namanya juga. Aku senang ia membiarkan kemalasanku dalam mencari nama dan tidak protes saat aku meminjam namanya berkali-kali. 

Cukup penjelasan tentang anak tengil itu. Kembali lagi ke anger management issue. Sepertinya aku harus belajar mengontrol itu. Dulu aku anak yang pendiam dan menyimpan semuanya sendiri, membiarkan orang lain bertindak seenak mereka. Sekarang aku justru menjadi orang yang terlalu vocal, mungkin karena aku tidak suka dengan diriku yang dulu. Sekarang tinggal belajar mengolah emosi dan tahu kapan harus meletakkan rem. Kira-kira begitu PR-ku sekarang. Menjadi tidak terlalu diam dan tidak terlalu mengamuk. 

****

Ngomong-ngomong, kondisiku sudah stabil. Terima kasih untuk orang-orang yang berusaha hadir, sabar, dan berusaha. Keluargaku sangat baik dengan cara mereka sendiri. Kakakku banyak asbun berkata ia ORANG CINA dan membuatku mengerutkan kening. Eyang sempat datang menjenguk saat aku sakit. Aku bangun tidur dan mendapati diri sudah di kelilingi oleh mereka. Mereka menatapku, aku bingung karena baru bangun, dan adekku cekikikan karena pemandangan ini lumayan lawak. Aku setuju.

Ada hal yang harus kuselesaikan sendiri, sisa-sisa sikap problematik tahun 2020 dan perlahan bisa reda tahun 2023 itu kadang masih hilang timbul, kambuh. Jika ada hal yang bisa dibantu oleh orang lain, maka aku hanya akan meminta kesabaran dan kehadiran mereka. Ada konflik batin, sesuatu yang harus kuselesaikan sendiri tanpa bantuan orang lain secara langsung. Agak sukar dipahami, tapi begitu lah adanya. Jadi, tolong sabar padaku karena aku pun juga sedang berusaha keras. 

Terima kasih untuk Zaq, anak tengil yang ingin kusentil karena jidatnya bisa di adu dengan milikku. Aku rasa ia sedikit terbawa perasaan negatif milikku saat aku kambuh, tapi ia berusaha tetap hadir walaupun responku seperti memusuhi dunia. Ah, tapi mungkin aku akan mengamuk jika ia tidak menepati janjinya. Jadi, tolong tepati janji itu.

Terima kasih untuk Una karena inisiatif dan usahanya meneleponku. Ia seperti terjun di tengah badai. Ia berusaha mengobrol tanpa tahu masalahku, terus mencari topik, dan berusaha mengerti. 

Terima kasih untuk anonim yang berkomentar di postingan blog-ku sebelumnya. Itu sedikit menghangatkan hatiku. Aku ingin bisa melihat dunia seperti caramu melihat dunia. Itu kalimat yang ingin kukatakan.

Sebenarnya tidak ada jaminan aku tidak akan kambuh lagi. Tapi jika itu terjadi, semoga aku sudah lebih kuat daripada sebelumnya :D 

 Sabtu, 5 Juli 2025. Pukul 15.11.

Aku kambuh dari semalam. Sekarang puncaknya, kurasa. Atau jadi semakin buruk tiap bertambahnya waktu. Aku mandi dan membenamkan diri ke dalam air. Aku merasa damai dan dingin. Aku tidak punya pikiran untuk mati tapi kenapa aku ingin selamanya berada di dalam air. Apa karena aku mencintai laut.

Aku ingin mencari pertolongan. Kepada siapa? Tidak ada yang membalas pesanku. Aku butuh ditolong. Aku takut. Tolong aku.

Pikiranku penuh, dadaku sakit. Marah, kecewa, sedih. Berputar jadi satu. Aku lelah. Aku tidak bisa makan. Aku tidak bisa tidur. Aku lelah. Aku ingin membunuh pikiranku.

Siapapun.


Algernon

Sekarang pukul satu lewat sedikit. Dunia begitu indah dan baik, seseorang pernah berkata begitu walaupun aku tidak ingat siapa atau kapan. Aku sedikit percaya sedikit tidak percaya. Aku ingin percaya tapi tidak ingin terlalu percaya. Jauh dalam diriku, rasa takut itu menguar seperti bau kematian. Tidak bisa disembunyikan.

Aku berjalan mondar-mandir di dapur. Dalam telingaku berdengung lagu asing. Di satu waktu, aku bertingkah seakan aku hilang ingatan dan bertanya, "kamu siapa?" pada bayanganku sendiri di cermin. Di satu waktu yang lain, aku menggambarkan adegan dalam kepala dimana aku menodongkan jari ke arah siapapun sambil bertanya, "siapa kamu?" Aku tersenyum karena merasa diri sendiri tidak waras, tapi aku tetap mondar-mandir sambil mendengarkan lagu entah apa.

Dini hari. Jam berdentang sekali, tanda sekarang pukul satu lewat tiga puluh pas. Adegan-adegan dalam kepalaku pecah, digantikan dengan pemandangan yang sebenarnya tampak. Dapur, hawa dingin, suara hewan malam, juga kesunyian yang mendadak hadir karena lagu itu habis. Aku tertegun, mencoba menerka sudah berapa lama aku 'hilang' dalam pikiranku sendiri. Tidak tahu. Aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya ingin kususun atau kucari dalam arus pikiran. 

Aku mengambil gelas dan menuang air. Mendadak kebutuhan manusiawi itu muncul. Kadang aku terganggu dengan ini. Haus, lapar, lelah. Dalam kerumitan dan rasa hampa, tubuh ini tetap minta air, minta makan, minta tidur. Tapi jika tubuh ini tidak meminta, mungkin aku hanya akan menjadi seonggok daging busuk. Aku tersenyum, sedikit memberi pujian pada kinerja tubuhku, tapi mengutuk kinerja pikiranku diam-diam.

Berkaitan dengan kinerja pikiranku, aku punya hubungan yang sulit dijelaskan. Aku terkadang menyukai kinerjanya yang mampu 'melihat' hal yang tidak disadari orang lain. Terkadang aku memuji dan bersandar padanya seakan ia adalah penyelamatku yang handal. Terkadang aku membencinya karena seperti menggali terlalu dalam, terus membuat asumsi, analisis, hingga rasanya aku seperti dicekoki. Terkadang ia begitu tega menyingkirkan perasaanku bahkan tanpa sepengetahuanku!

Aku duduk di kursi rotan. Ada suara derit yang ringan ketika aku merebahkan badan. Ah, bersamaan dengan hilangnya pegal di punggungku, aku (atau pikiranku?) menanyakan pertanyaan yang entah ditujukan kepada siapa. Jika untukku, apakah aku harus mencari jawabannya—perlu tanda titik, bukan tanda tanya. Menyalahi aturan kepenulisan, tapi titik itu untuk membatasi aku agar tidak terlalu banyak bertanya. 

Apa gunanya semua ini? Apa gunanya berpikir dan mengorek dunia? Semakin banyak hal yang diketahui, maka semakin banyak masalah yang disadari. Apa bagusnya punya pengetahuan jika ketidaktahuan adalah anugerah?

Ketidaktahuan adalah anugerah. Semakin sedikit yang diketahui, maka semakin bagus juga. Itulah mengapa senyum anak kecil terlihat begitu murni dan cerah. Mereka tidak mengetahui kebengisan dunia. Ketidaktahuan menyelamatkan mereka. Saat itu.

Aku mempelajari manusia. Aku mengamati dan menganalisis. Aku ingin menembak pikiranku sendiri dan membunuhnya. Aku ingin pikiranku kembali lahir tanpa membawa pengetahuan akan manusia yang sudah lama kupelajari dan segala analisis itu. Aku ingin menjelma menjadi ketidaktahuan. 

Adegan-adegan bohongan itu muncul lagi dalam kepalaku. Aku menodong semua orang dengan pertanyaan, "siapa kamu?" Jika suatu hari itu terjadi, apakah aku bisa mempercayai perkataan entah siapa yang mengatakan bahwa dunia begitu indah dan baik? 

Besok, akan kukatakan pada Charlie bahwa ia tidak harus menjadi pintar. Pintar adalah petaka. Lebih baik ia bekerja di toko roti dan mendapat sepotong dua potong roti tiap hari selama hidupnya. 

Satu Juli

Saking sepinya, aku bingung harus menulis apa. Padahal aku pengen konsisten menulis setiap hari, entah dalam bentuk apapun, entah pada media apapun. Malam ini aku sudah mematikan lampu utama, aku ingin membungkus diri dalam kegelapan. Itu artinya aku membuka laptop dengan layar terpancar tepat pada mataku. Semoga besok kepalaku tidak pusing.

Hari ini aku menemukan perpustakaan baru. Aku melihat akun Instagramnya dan tertarik ingin mengunjunginya suatu hari nanti, jika perasaanku sedang bagus dan cuaca tidak terlalu terik. Perpustakaan itu ada di lantai empat gedung Bank Indonesia. Aku baru tahu bank itu punya perpustakaan. Menarik. 

Setelah melihat rute jalan, aku menemukan toko kue yang baru dibuka dekat BI. Mungkin aku bisa merencanakan pergi kesana setelah dari perpustakaan. Sendirian, tentu saja. Mengingatkanku saat aku mendadak memutuskan pergi ke toko buku dan berjalan di sepanjang Slamet Riyadi sendirian. Kemudian, tanpa rencana, masuk ke salah satu kafe dan membaca buku yang baru kubeli. 

Solo, buku, dan cerita sepanjang Slamet Riyadi. Di dekat gramedia ada toko kue juga. Kunjungan terakhirku saat ada agenda dua mingguan komunitas baca buku, mereka mengadakannya disana. Itu kali pertama aku kesana lagi setelah beberapa saat. Aku pernah bertemu seseorang disana.

Apa yang dia lihat dari balik kaca toko? Apakah aku yang duduk dengan bukuku sambil menunggu? Apakah ia lebih memikirkan kenapa aku memintanya membawakan pulpen? 

Sudahi saja tulisan ini sampai disini. Mendadak aku teringat lagu yang dikirim temanku dan ingin mempelajarinya sedikit sebelum tidur. Lagu durasi tiga menit yang liriknya lumayan padat. Dengan riang, ia menyodorkan lagu itu beberapa saat lalu dan berkata, "nyanyii ini."

Nautilus Pukul Empat Pagi

Dini hari, aku memutuskan menyeduh mie instan. Ketika makan, aku menangis. Aku tidak tahu apakah karena mie ini terlalu pedas atau aku menjadi sensitif. Aih, ini adalah jam-jam dimana hening adalah lagu kesedihan yang paling nyaring. 

Sekarang mendekati pukul empat dan aku benar-benar bernyanyi. Sepertinya perasaanku menjadi lebih baik. Aku suka lagu ini, Nautilus milik Yorushika. Nautilus sebenarnya nama spesies moluska. Tapi, dalam dunia fiksi "Twenty Thousand Leagues Under the Seas" karya Jules Verne, Nautilus adalah nama kapal selam yang dirancang oleh Kapten Nemo. Ia mengutuk ketidakadilan dunia, memilih menyendiri dalam lautan, dan memutus hubungan dengan dunia. Baginya, Nautilus adalah sebuah perlindungan. Ngomong-ngomong, dalam bahasa latin, "Nemo" artinya "tidak seorang pun." 

Dan, ini Nautilus. Aku baru tahu kalau ternyata tidak bisa menyisipkan audio, jadi aku meletakkan rekaman suaraku di drive. 

Nautilus Cover