Kaamos

Aku merasa bersalah dan bukan pada posisiku untuk bisa menulis ini. Tapi, jika tidak kulakukan, semua kata-kata memenuhi pikiranku dan aku terpaksa menjalani keseharian sambil memboyong itu. Benar, ini hanyalah keegoisan untuk menyelamatkan diriku sendiri.

Apakah kamu tahu bahwa setiap manusia memiliki sisi tergelapnya? Aku memandang manusia seperti sebuah bawang, penuh lapisan. Kemudian, ada bagian terdalam, yang tidak semua orang bisa menerima itu. Karena orang-orang cenderung menghindari hal suram dan hal negatif. Mereka lebih senang berkumpul mengelilingi cahaya yang terang. Untuk apa? Tentu saja untuk meredakan gelap mereka sendiri.

Kemudian, kita, terpaksa menutup rapat bagian terdalam itu. 

Aku punya teman dari Irlandia, namanya Wry. Ia seseorang yang umurnya sangat jauh di atasku dan memutuskan untuk hidup sendiri dengan anjingnya. Ketika mengobrol dengannya, Wry berkata bahwa aku mengingatkannya akan dirinya dimasa muda.

"It's absolutely clear you're a deep person. I can see the thought you put into everything. You're more deep than the average person, and so you need a deeper connection with other people."

Untuk waktu yang lama, aku menyembunyikan sisi diriku yang seperti itu. Orang-orang tidak perlu tahu sedalam apa diriku. Cukup mereka lihat saja sisiku yang katanya kekanak-kanakan itu. Jika mereka membaca tulisanku, cukup sampai mereka berpikir aku puitis. Jika mereka melihat karyaku yang lain, cukup sampai mereka berpikir itu estetik. Pemahaman sederhana seperti itu akan menyelamatkanku.

Beberapa orang pernah memintaku untuk menjadi lebih terbuka dan kurasa mereka menyesal. Harusnya aku sudah siap untuk reaksi mereka, tapi kenapa aku kecewa? Jawabannya mudah, karena sebenarnya setiap orang ingin bisa diterima dan dipahami. Itu membuat mereka merasa memiliki tempat aman untuk melepas tameng mereka untuk menghadapi dunia dan menjadi apa adanya. 

Untukku, kurasa tempat aman yang tepat adalah jika aku tidak membiarkan orang-orang tahu sedalam apa pikiranku. Baik mereka atau pun aku, keduanya sama-sama tidak siap. Aku tidak siap jika harus menguarkan energi negatif. Aku juga tidak siap dengan penolakan. Kemudian, mereka tidak siap dengan rasa lelah yang akan kutimbulkan. 

Aku tahu bahwa sisi ini bukan hal yang harus ditoleransi. Untukku sendiri, aku masih berusaha mengontrol isi pikiranku dan tidak bias dengan analisisku. Aku perlu waktu. Usia Wry hampir menyentuh dua kali usiaku, ia bilang aku tidak perlu terburu-buru karena aku masih sangat muda (baginya) dan bahkan diusianya pun ia masih banyak belajar. Tapi apakah dunia punya kesabaran untuk menunggu seseorang?

Jika kelak ada orang yang menyuruhku menjadi lebih terbuka karena alasan-alasan baik, kurasa  aku akan terima niat baiknya saja. Sampai aku siap dan sampai ada orang yang tepat untuk itu. Aku berhenti untuk menjadi menyedihkan dan berharap. 

Oh, aku sampai lupa bilang bahwa aku sudah berbaikan dengan Una! Ternyata itu hanya kesalah pahaman dan ia mengira bahwa aku lah yang marah dan tidak ingin lagi berbicara padanya. Una tidak berani mengajakku berbicara duluan karena ia tahu aku seram ketika marah. Padahal aku tidak marah.

Setelah melakukan ritual berdamai, kami kembali seperti biasa. 

Ngomong-ngomong, ini sudah mendekati tanggal datang bulanku. Masa-masa aku menjadi problematik. Aku baru menyadari bahwa aku menjadi sentimental dan emosional dimasa-masa ini karena Una yang mengatakannya padaku. Ia yang menyadarkanku. 

Aku lupa kapan tepatnya, tapi kurasa beberapa bulan atau tahun lalu, aku meneleponnya dan hanya diam. Tentu saja ia kebingungan karena aku kemudian menangis tanpa mengatakan apapun. Aku sudah lupa apa yang saat itu aku pikirkan dan apa yang menjadi obrolan kami. Begitu masalahnya selesai, aku mudah untuk melupakannya.

Tapi yang kuingat adalah Una yang bertanya, "ini tanggal-tanggal kamu mau datang bulan?" aku mengiyakan.

Una kemudian berseru, "OH PANTESAN KAMU JADI CEWE! Apa kamu sadar kalau kamu pasti kayak gini kalau mau datang bulan?" Tentu saja aku tidak sadar.

"Apa maksudmu 'pantesan aku jadi cewe'? Aku kan memang cewe."

Aku mendengar Una tertawa, "bukan. Biasanya kamu anomali, aneh. Tapi ini wajar ngga sih? Tiap orang punya gejala yang beda, kalau aku mungkin jadi banyak makan pedes."

"Jadi ini normal?"

"Jauh lebih normal daripada kamu yang biasanya malah. Itu karena hormon. Jadi sentimental juga tentu bukan kemauanmu sendiri, kan? Jadi ngga papa. Kalau kamu lagi kepikiran sesuatu atau lagi sedih ngga jelas, dateng aja ke aku, nanti aku temenin."

Aku diam beberapa saat, kemudian berkata, "kamu ngga kerepotan?"

"Enggak, asal bukan pas jam sibukku. Apasih paling juga dengerin kamu ngedumel doang, apa yang repot? Cuma nemenin ngobrol kan gampang." 

"Kamu ngga capek?"

"Kamu yang bantu aku pas aku ngerasa minder sama diri sendiri. Kamu juga bantuin waktu aku takut sama sesuatu yang aku ngga yakin itu apa. Apa kamu ngerasa capek atau kerepotan? Pasti ngga, kan. YA SAMA. DIEM DEH."

Lamunan Sebelum Tidur

Aku melihat kucingku yang memakan tempat hampir setengah ukuran kasur. Wajah tidurnya terlihat damai. Setiap hari kesibukannya hanya makan, tidur, main, dan buang hajat. Ia hanya hidup dan ada. Walaupun tidak berguna, kenapa aku masih menyayanginya?

Aku mengamati kucingku yang berwajah mirip om-om. Soi imut dan bulunya lembut. Apakah hatiku luluh karena visualnya yang menggemaskan? Tapi kelakuannya mirip suku barbarian ketika lapar atau porsi makanannya kurang. Soi akan mencakar atau menggigit kakiku. Dalam hal ini, ia memberi luka pada kakiku. Ia menyakitiku. Aku masih sayang padanya.

Kadang Soi bertingkah licik. Ia sudah dapat jatah makan dari Ibu, tapi meminta makan padaku. Aku, karena tidak tahu bahwa Ibu sudah memberinya makan, akhirnya menaruh makanan pada mangkok Soi. Jika kami lupa menaruh jatah ikannya ke dalam kulkas dan meninggalkannya di atas meja, Soi akan melompat lalu memakannya. Ia licik, namun aku masih sayang padanya.

Bahkan jika Soi tidak imut lagi, aku yakin aku masih menyayanginya. Ini rasa sayang tanpa syarat. Kemudian, aku berpikir, jika kucingku bisa berbahasa manusia dan mengatakan isi hati atau pikirannya, apakah aku masih bisa menyayanginya?

Kemudian, aku berpikir lagi. Apakah konsep "mencintai" pada Soi bisa diterapkan pada semua makhluk hidup termasuk manusia? Menyayangi tanpa syarat, tanpa pertimbangan, tanpa perhitungan.

Mencintai manusia itu lebih rumit. Selalu ada banyak pertimbangan, perhitungan, perbandingan. Ada banyak tulisan yang berkata "aku mencintaimu dengan sederhana", tapi 'sederhana' apa yang dimaksud? Sesederhana apakah itu? Mungkin seperti tidak menuntut, membiarkan menjadi diri sendiri, atau hal-hal semacam itu. 

Bagaimana dengan cinta yang serius? Bagaimana dengan cinta versi orang dewasa?

Jika suatu pasangan memutuskan untuk menikah, pasti selalu ada banyak pertanyaan. Bagaimana dengan keluarganya, dari golongan terpandang atau biasa? Kerja apa? Seperti apa pendidikannya? Bagaimana agamanya? Berapa gajinya? Bagaimana pola hidupnya? Bagaimana penampilannya? 

Kita jatuh cinta dengan banyak pertimbangan.

Cinta milik orang dewasa tidak sederhana walaupun banyak tulisan yang bilang "aku mencintaimu dengan sederhana" karena pada akhirnya kita menjadi penuh pertimbangan. Kemudian, untuk apa semua pertimbangan itu? Agar tidak malu ketika berdiri ditengah masyarakat? Agar 'citra' kita tetap terjaga dengan baik?

Aku mulai memikirkan ini semua.

Aku ingin mencintai seseorang tanpa perlu memikirkan hal-hal rumit itu. Aku ingin jatuh cinta pada matanya, pada caranya berbicara dan tertawa, pada dirinya yang menjadikanku berani, pada obrolan-obrolan panjang tentang segala hal, pada caranya menggenggam tanganku. Aku tidak ingin peduli pada latar belakang keluarganya, sebanyak apa uang yang ia miliki, fisik yang ia punya, atau setinggi apa pendidikannya. 

Itu adalah cinta penuh idealisme yang akan dimatikan oleh dunia. Kemudian masyarakat akan menuding itu cinta yang tolol. Tapi siapakah mereka yang berhak mengatur dan mendikte soal ini? 

Kemudian, dunia berubah menjadi rimba yang dingin karena cinta lahir dari banyak pertimbangan, perhitungan, dan perbandingan.  

Edisi Muti:

Sebenarnya aku masih.. Aneh. Bukan dalam konotasi yang negatif. Selama ini aku menulis Zaq sebagai sebuah nama tokoh fiksi dalam cerita bikinanku. Nama itu bersanding dengan  tokoh fiktif lainnya dan bukan namaku. Aku seperti membuat adegan, seperti memutar film di kepalaku dan aku adalah penonton sekaligus pencerita. 

Aku sudah menulis tiga cerita 'Edisi Zaq'. Itu bukan cerita fiktif. Segalanya nyata dan terjadi. Ternyata sungguhan ada waktu dimana kami 'nyata' dan berada di satu frame cerita yang sama. Zaq yang muncul dari balik pintu dan tersenyum, seakan ia keluar dari buku-bukuku, tulisanku, juga sekumpulan puisi "Tuan Teduh"

Pada akhirnya, kami kembali setelah banyak hal. Mungkin ini terjadi karena ia tidak menyerah atas diriku. Tapi ia berkata, "kamu juga kenapa masih mau maafin aku?" Aku mengangkat bahu, tidak tahu. Aku memang pernah marah dan benci padanya, tapi aku tidak bisa menghapusnya dari hidupku. Apa ini karena diriku sembilan tahun lalu yang menulis hal-hal cringe? Apakah anak kecil itu mengutukku? :0

Mungkin kami kembali karena masing-masing dari kami tidak menyerah satu sama lain. Ia berusaha menepati janjinya untuk menjadi lebih baik untukku. 

Oke mari lanjut untuk 'Edisi Zaq' karena masih banyak yang perlu ditulis :D

Edisi Zaq: Kunti Core dan Tas Ajaib

 "Jadi pergi?"

Aku melempar pertanyaan sambil merapikan barangku. Aku melihat Zaq masih bermalas-malasan. Beberapa saat yang lalu, ia mengeluh karena bingung mau melakukan apa karena biasanya Zaq banyak menghabiskan waktu di depan komputer. 

Zaq melihat ponselnya, "tunggu jawaban ibu."

Sekarang hampir pukul tujuh malam. Setelah dari kafe, kami berencana pergi ke penginapan Zaq. Mumpung ada kesempatan berada di satu kota yang sama, sekalian saja menyapa ibu dan keluarganya. Ternyata aku jauh lebih gugup daripada saat mau bertemu Zaq. Aku melihat diriku di kaca sambil merapikan dandanan. Anak tengil itu masih bermalas-malasan, kali ini sambil melihatku. Saat mata kami bertemu, ia bertanya, "kenapa? Iri lihat aku malas-malasan?"

Zaq mengeluarkan parfum dari dalam tas ajaibnya. Aku menyebutnya tas ajaib karena semua barang seakan ada disana. Ia membawa banyak hal. Aku heran kenapa ada pisau lipat, salep, minyak kayu putih, sajadah travel, tisu biasa, tisu basah di dalam tasnya. 

"Hansaplas ada?" 

Zaq mengangguk, "ada, kamu mau?"

....

Isi tas anak ini lebih serba ada ketimbang tas milikku. Dalam tas kecilku, aku hanya membawa dompet dan ponsel. Aku bisa memahami kenapa ia membawa itu semua, tapi yang tidak kupahami adalah kenapa ada salep disana. Itu adalah salep guci pusaka yang pernah ia rekomendasikan padaku saat aku memberi tahunya ada lebam di lututku karena terantuk rak buku. 

Kadang, ada kalanya Zaq terlihat seperti ibu-ibu saat kami mengobrol secara online. Ia mengomel tentang banyak hal. Omelannya yang terakhir (dan masih berlangsung sampai sekarang) adalah saat aku pergi jalan-jalan malam hari dan pulang membawa dua es krim untuk kumakan sendiri. Ia mengomel karena aku makan es malam-malam, dua es krim pula. Melihat tas ajaibnya, ternyata sisi ibu-ibu itu memang ada padanya.

Zaq menyodorkan salep itu padaku, "ini buatmu. Kamu bawa aja. Siapa tau kamu punya memar lagi kayak kemarin."

Aku mengambil salep dengan wadah putih kecil itu dari tangannya. Aku bingung akan aku apakan salep ini nantinya, "ini bisa dipakai buat apa?"

"Apa aja."

"Luka kena serangga?"

"Bisa."

Aku menimang salep mini itu. Bahkan isi tas ajaibnya pun ajaib, ada salep serba bisa. Aku berkata terima kasih padanya dan menaruh salep itu ke dalam pouch milikku. Kulitku lumayan sensitif, bahkan kadang gatal hanya karena debu. Jadi kurasa salep ini akan berguna nantinya. 

Zaq menyemprotkan parfum melati miliknya. Bukan tipikal parfum yang sekali semprot langsung wangi satu ruangan, tapi tipikal parfum yang baru tercium jika jaraknya dekat. Zaq mendekat ke arahku agar aku bisa mencium baunya. Wangi melati tulen, tanpa ada campuran aroma lain. Hanya melati. 

Aku tertawa dan berkata, "kunti core."

"Iya nanti dateng lewat jendela kamarmu."

Aku melotot ke arah Zaq, "jangan gitu. Aku tidur sendirian." ia tertawa.

Zaq suka bunga melati. Ia bercerita kalau halaman rumah uwa ditanami banyak melati yang ketika musimnya mekar, bau melati semerbak berhasil mengusir sekumpulan orang yang suka nongkrong. Kunti core, begitu kataku lagi. Zaq pernah mencoba menanam melati, tapi gagal. Ada satu yang berhasil, katanya, karena ditanam di tanah yang sama seperti pekarangan uwa. Tapi bunganya tidak banyak, katanya lagi.

Aku tidak punya keberanian untuk berandai. Tapi jika berandai adalah sebuah doa, maka aku harap kami bisa menanam melati di pekarangan yang sama. Aku tidak tahu masa depan akan membawaku kemana, tapi aku ingin menjaga apa yang kupunya sekarang.