Sampai Kapan Mau Sok Kuat?

Sebenarnya aku punya banyak draft tulisan di blog ini. Tapi, apa ya, rasanya aku enggan mempublikasikan hal-hal yang negatif terus. Soalnya aku sendiri pun malas membacanya lagi dikemudian hari. Diriku yang sedang bersedih membuat hati diriku yang sedang baik-baik saja menjadi kelabu. Lalu, rasanya sayang sekali jika blog arsip ini dominan diisi hal-hal yang menyedihkan, suram, dan problematika hidup. 

Tapi, sekali lagi, apa ya. Perasaan mengganjal apa ini. Perasaan yang mencongkel dan menyinggung nuraniku yang sedang bersedih. Aku jadi teringat beberapa kalimat yang pernah dilontarkan kepadaku. Pada paragraf pertama, apa aku sedikit demi sedikit menjadi seperti mereka dan tidak menanggapi serius perasaan sendiri?

"Aku biasanya nggak cerita ke siapa-siapa kalau ada masalah." ,  "Kalau ada masalah itu simpan sendiri, nggak perlu orang lain tau atau posting."  ,  "Nggak usah deh keliatan kayak orang paling menderita, semua orang juga punya masalah."

Aku pernah diberi kalimat-kalimat di atas. Yang pertama paling sering. Ketika aku menulis ini, aku jadi bertanya-tanya, sekaligus pertanyaan yang kutanyakan pada diriku sendiri. Sampai kapan mau sok kuat dan sok bisa apa-apa sendiri? Pertanyaan tepatnya, sampai mana batasanmu kuat nahan dan nggak jadi gila? 

Manusia begitu cekatan dan pandai untuk menyikapi hal bahagia dan rasa senang. Tapi anehnya manusia tidak pintar menyikapi perasaan sedih. Di titik ini, aku menyinggung paragraf satu yang barusan kutulis. Jika memang caraku menyikapi sedih adalah menulisnya di tempat yang paling aku kenal, lantas apa salahnya? Sama seperti ada banyak ragam cara merespon kebahagiaan, maka ada banyak cara juga untuk merespon kesedihan. Tiap orang berbeda-beda. 

Jika cara orang lain adalah memendamnya dan tidak bercerita, tidak apa. Tapi, jika memendam dan lama-lama memburuk hingga nyaris gila dan depresi, apakah memendam adalah cara menyikapi kesedihan dengan benar? Atau justru bom waktu yang akan menghancurkan diri sendiri?

Manusia begitu cekatan dan pandai untuk menyikapi hal bahagia dan rasa senang. Tapi anehnya manusia tidak pintar menyikapi perasaan sedih.

Ada apa dengan perasaan sedih? Kenapa keberadaannya seakan aib yang harus ditutupi. Keberadaannya ditolak, bahkan kadang tidak diakui oleh pemiliknya sendiri. Ia disembunyikan mati-matian seakan dunia begitu peduli dan akan berkomentar buruk. Tidak, dunia nggak peduli. Satu-satunya yang peduli dengan rasa sedihmu ya kamu atau orang lain yang peduli (alangkah bahagianya jika ada).

Aku sepertinya tahu jawabannya. Naluri manusia, insting bertahan hidup. Manusia cenderung menghindari hal-hal yang mengancam dan tidak nyaman, naluri untuk melindungi diri. Perasaan sedih itu tidak nyaman. Maka manusia cenderung menghindari atau menolaknya, menyembunyikannya rapat-rapat. Padahal perasaan sedih sama dengan perasaan lainnya, perlu diekspresikan, entah dalam bentuk apapun itu.

Jadi, mari cari tahu bagaimana cara terbaik dan paling nyaman untuk merespon rasa sedih. Cara yang mampu menyikapi dengan baik, bukan sebuah cara yang akan menghasilkan bom waktu. Cara yang mampu membuatmu bangkit lagi dan menjadi lebih kuat, bukan menjadi mati rasa dan hilang kepedulian. 

****

Untuk postingan blog, aku akan membiarkan perasaanku mengalir begitu saja. Aku akan menulis hal-hal baik, kebahagiaan, hal random, kesedihan, kerumitan isi pikiran, dan apapun itu yang sekiranya ingin kutulis. Semua itu adalah hal-hal yang membuatku hidup. Bukti aku bisa bersedih adalah aku masih hidup. Sama seperti hidup yang penuh warna, blog ini juga (walaupun tampilannya cuma monokrom).

0 komentar:

Posting Komentar